DECEMBER 9, 2022
Puisi

Cerpen Rusmin Sopian: Matinya Tukang Kritik 

image
Ilustrasi tukang kritik (Foto: Istimewa)

ORBITINDONESIA.COM - Tidak ada air mata yang keluar dari kelopak mata para pengantar di pemakaman. Gerimis yang tiba-tiba hadir seolah sudah mewakili mereka. 

Gerimis membuat dedaunan di sekitar pemakaman yang terletak di ujung kampung itu basah kuyup. Gerimis membasahi gundukan tanah yang masih merah.

Para pengantar berangsur meninggalkan pemakaman. Hanya ada beberapa orang yang masih bertahan di sana. Sementara gerimis mereka biarkan membasahi tubuh mereka.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Ada Cerita Palsu dari Mulut Palsu Penutur Palsu

"Tidak ada lagi orang yang peduli dengan kondisi kampung kita lagi," ucap seseorang dari pengantar yang masih bertahan di areal pekuburan yang mendadak sepi.

"Demikianlah. Padahal kritik yang disampaikan almarhum adalah bentuk kepeduliannya kepada kampung kita ini. Tapi beliau malah diberikan stigma buruk oleh warga kampung yang termakan narasi manis Pak Pemimpin Kampung," ujar Pak Carmuk. 

"Sekarang tidak ada lagi yang mengontrol kebijakan Pak Pemimpin Kampung. Bisa bertindak seenak perutnya dia dalam mengelola kampung ini. Bisa jadi raja. Bukan pemimpin," ungkap Pak Pangsut prihatin.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Kisah dari Koran Bekas 

"Tunggu saja karma dari warga yang dizaliminya," sergah Pak Pang Carmuk.

Mereka terdiam. Mata mereka menatap ke arah kuburan yang senyap. Dedaunan yang mengornamen pepohonan yang ada di sekitar pekuburan umum kampung pun tak bergerak. Ikut terdiam. 

Bagi warga Kampung Kocar Kacir, Matkritik dikenal sebagai warga yang sering mengkritisi kebijakan Pemimpin Kampung. 

Baca Juga: Rusmin Sopian: Amanah Publik untuk Kesejahteraan Publik

"Saya mengkritisi kebijakan Pak Pemimpin Kampung untuk kepentingan kampung kita. Bukan untuk kepentingan pribadi," ucap Matkritik pada suatu hari.

"Saya pendukung Pak Pemimpin Kampung waktu pemilihan Kepala Kampung yang lalu. Bukan berarti saya membiarkan beliau sebagai pengemban amanah warga bertindak sewenang-wenang dan seenaknya. Saya harus bertanggungjawab jawab untuk pilihan saya. Caranya mengkritisi kebijakan beliau yang tidak tepat sasaran untuk kepentingan publik Kampung ini," lanjut Matkritik.

Suara lelaki yang pernah sekolah di Universitas terkenal di Kota itu terdengar garang di telinga pecinta Pemimpin Kampung. 

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Robohnya Rumah Pejuang

Bahkan terkadang suara garangnya terdengar mengganggu gendang telinga Pemimpin Kampung dan pengikutnya. Para pendukungnya. Para pecinta Pemimpin Kampung.

"Saya heran dengan Matkritik. Hobi benar mengkritisi kebijakan Pak Pemimpin Kampung. Padahal dulunya beliau adalah bagian dari warga yang ikut memenangkan Pak Pemimpin Kampung," keluh seorang warga pecinta Pemimpin Kampung.

"Nggak usah didengarkan suara orang yang patah hati," jawab seorang warga pecinta Pemimpin Kampung lainnya.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Perempuan Kiriman Tuhan 

"Patah hati?" tanya warga kampung pecinta Pemimpin Kampung.

"Ya. Beliau kan orang yang menolak pembangunan tugu di ujung kampung kita itu. Beliau menyarankan agar dana pembangunan tugu untuk pembangunan sekolah menengah yang belum ada di kampung kita," jelas warga kampung pecinta pemimpin lainnya.

"Lho...Kan benar saran beliau," sambung warga kampung pecinta pemimpin lainnya dengan suara heran.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Karma

"Tapi kan Pak Pemimpin Kampung kita sudah berjanji untuk membuat tugu itu," jelas warga kampung pecinta Pemimpin lainnya.

"Biasa. Untuk pencitraan. Masa kamu nggak paham," celetuk warga kampung pecinta pemimpin lainnya.

Tiba-tiba semua warga terdiam. Membisu. Mulut mereka terkunci. Sejuta penyesalan mulai merasuki hati mereka. 

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Aku Manusia Enam Setengah Tahun 

Matahari di atas kepala. Cahaya terangnya menghiasi semesta. Menerangi jiwa-jiwa penghuni bumi.

"Apa yang disampaikan Matkritik baru kita rasakan. Sekarang banyak anak-anak kita yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang menengah atas. Kalau pun harus ke sekolah menengah atas, berapa biaya yang harus kita keluarkan. Kita harus menyekolahkan anak kita ke kota," keluh seorang warga kampung.

"Demikianlah. Kita harus menerima kenyataan dan takdir ini sebagai konsekuensi dari pilihan kita yang selalu membela Pemimpin Kampung tanpa kontrol," sahut warga yang lainnya.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Hidayah dari Anak-anak Dermaga 

"Apakah kita harus menjadi pengkritik Pak Pemimpin Kampung?" tanya seorang warga.

Tiba-tiba para warga pecinta Pemimpin Kampung tertawa terbahak-bahak. Air mata mereka mengalir ke bumi.

"Kita nikmati saja. Apa kata dunia kalau kita tiba-tiba berubah haluan. Menjadi pengeritik Pak Pemimpin Kampung?" ucap seorang warga kampung yang terkenal sebagai pembela berat Pak Pemimpin Kampung.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Doa yang Teraniaya 

Sudah seminggu kepergian Matkritik ke pangkuan Allah SWT, Sang Maha Pencipta. 

Suasana kampung mendadak berwarna. Para tokoh masyarakat dan tokoh agama serta warga kampung berkumpul di kantor Pemimpin Kampung. Tujuannya cuma satu. Meminta Pemimpin Kampung mengubah diri.

"Kami akan menjadi pengontrol Pemimpin Kampung bila Pemimpin Kampung tidak berubah mengelola Kampung ini," teriak seorang warga kampung.

Baca Juga: Puisi Ahmad Gusairi: Tersesat di Jalan yang Benar

"Benar. Wafatnya Matkritik bukan berarti matinya tukang kritik di kampung ini," sambung seorang warga yang lain.

"Insyaallah, kami penghuni Kampung ini tidak termakan oleh narasi manis Bapak sebagai pemimpin. Kami tidak akan menjadi keledai untuk yang kedua kalinya," semprot seorang masyarakat kampung yang selama ini dikenal sebagai pendukung berat Pemimpin Kampung.

"Jangan sampai kami berdosa kepada publik kampung karena membela Pemimpin Kampung yang tidak benar. Berlaku seenak perutnya dalam memimpin. Seolah-olah kampung ini miliknya. Mohon hentikan semuanya sebelum azab tiba," wejangan seorang tokoh agama.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Pil Terakhir 

Semua warga kampung yang berkumpul terdiam. Tidak mengira tokoh agama kampung berucap demikian. Mengeluarkan narasi tegas.

Wajah Pemimpin Kampung memerah. Hanya terdiam. Kepalanya tertunduk. Ada rasa malu menggerogoti jiwanya. Kebaikan warga Kampung memberikan amanah kepada dirinya tidak memiliki manfaat bagi para warga Kampung. Justru amanah mulia itu dieksploitasi untuk kepentingan pribadinya dengan mengatasnamakan warga Kampung. 

Anak-anak susah mendapatkan pendidikan. Harus ke kota. Dan kini dia merasakan penderitaan yang luar biasa yang mengaliri sekujur tubuhnya.

Baca Juga: Puisi Ahmad Gusairi: Sang Pewarta

Dan seketika, dia tumbang dari kursinya. Seiring dengan turunnya hujan ke bumi dengan sangat deras diiringi suara petir yang menggelegar. Tiupan angin pun kencang. 

Terdengar suara pepohonan yang tumbang. Bahkan beberapa pohon penghias kantor pun tumbang. Menghantam kantor Pemimpin Kampung. 

Para warga berlarian meninggalkan kantor Pemimpin Kampung. Menyelamatkan diri. Tidak terkecuali para orang dekatnya. Menyelamatkan diri mereka. 

Baca Juga: Puisi Ahmad Gusairi: Kopi Hitam

Sementara Pemimpin Kampung sendirian di lantai kantor. Tanpa kawan. Tanpa teman. Sendirian. 

Toboali, 9 Ramadhan 1446 H.

*Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kabupaten Bangka Selatan. Cerpennya tersebar di berbagai media lokal dan luar Bangka Belitung. Saat ini tinggal di Toboali Bangka Selatan bersama istri dan dua putrinya yang cantik dan kakek seorang cucu yang bernama Nayyara Aghnia Yuna.***

Halaman:

Berita Terkait