DECEMBER 9, 2022
Puisi

Cerpen Rusmin Sopian: Robohnya Rumah Pejuang

image
Ilustrasi rumah yang dibongkar (Foto: TVOneNews)

ORBITINDONESIA.COM - "Sungguh-sungguh sangat heran. Pejuang seperti Pak Liluk dibiarkan merana bak anjing kudisan. Di mana mata hati petinggi negeri ini?” ungkap Cagel, tokoh masyarakat kampung kami dengan nada suara bersungut-sungut.

”Persis, kawan. Pak Liluk adalah salah seorang pejuang yang ikut memerdekakan bangsa ini. Tapi balasannya apa? Rumahnya pun ikut tergusur. Tak ada apologi untuk beliau,” sahut warga lainnya sembari menyaksikan aksi para petugas melakukan pembongkaran terhadap kawasan perumahan penduduk di mana seorang pejuang yang bernama Liluk bertempat tinggal.

”Ini bukti nyata bahwa jasa para pahlawan kurang terhargai. Mereka hanya menghargainya di narasi untuk media massa saja, dan pencitraan semata,” celetuk warga yang lain dengan nada suara geram.

Baca Juga: CERPEN Syaefudin Simon: Tuhan yang Telanjang

Dan hanya dalam waktu tak lebih dari satu jam, perumahan penduduk yang padat di kawasan kumuh itu pun rata dengan tanah. Membaur bersama puing-puing reruntuhan. 

Sementara suara tangisan terus bergemuruh sekencang suara gemuruh alat-alat berat yang terus menggeruduk rumah penduduk tanpa malu dan tanpa nurani. Kibasan belalai Buldozer runtuhkan semuanya. 

Cahaya matahari di atas kepala. Di sebuah warung kopi yang tidak jauh dari kawasan penggusuran, seorang lelaki tua tampak lusuh. Bajunya penuh dengan keringat yang menebarkan aroma tak sedap. 

Baca Juga: CERPEN: Wanita yang Berjuang Demi Pacarnya yang Dipecat

Matanya masih tertuju kepada aksi istimewa alat-alat berat yang terus menggeruduk dan menyapu bersih bangunan rumah yang berjejer dikawasan padat penduduk itu. Beberapa orang berbaju seragam menemaninya. 

”Kami diperintahkan pimpinan untuk membawa Bapak dari lokasi ini. Bapak akan diberikan sebuah rumah di kawasan yang layak dan jauh dari kebisingan Kota. Sangat layak untuk Bapak menikmati masa tua,” jelas seorang petugas dengan nada suara yang teramat lembut.

”Benar sekali, Pak. Di rumah yang baru nanti Bapak bisa beristirahat dengan tenang. Jauh dari kebisingan. Udaranya juga sangat segar. Sangat cocok untuk Bapak,” sambung petugas yang lainnya dengan nada suara bujukan.

Baca Juga: Aplikasi Penyedia Novel Bacaan dan Cerpen, MaxNovel Berkomitmen Berdayakan Para Penulis Indonesia

Lelaki tua itu tak menjawab. Mulutnya tertutup rapat. Terkunci dengan rapat. 

Bola matanya terus memandang rumah yang terus roboh dan dirobohkan belalai buldozer hingga rata dengan tanah.  Dibantai keganasan alat berat yang terus meraung-raung dengan suara garang. Meluluhlantakkan kawasan pemukiman warga tanpa rasa kemanusiaan.

Kekecewaan melanda sekujur tubuh tuanya. Degup jantungnya turun naik.  

Baca Juga: Rusmin Sopian: Buku dari Bangka Selatan untuk Nusantara

Seluruh mata, tiba-tiba tertuju kepadanya. Saat dirinya berlari ke arah  alat berat yang hendak merobohkan sebuah bangunan rumah semi permanen di kawasan pemukiman penduduk itu.

Itu adalah satu-satunya rumah yang belum roboh. Satu-satunya rumah yang masih tersisa. Menunggu giliran dihantam belalai buldozer.

Dirinya berdiri persis didepan alat berat. Suasana menjadi genting. Teriakkan menyingkir terus dinarasikan para warga untuk dirinya. 

Baca Juga: Rusmin Sopian: Kebangkitan Kebermajuan

"Mundur, Pak. Mundur, Pak. Berbahaya," teriak para warga dengan suara cemas.

Lelaki tua itu tidak memperdulikannya sama sekali. Dia berdiri di depan alat berat yang siap memangsa. Bak singa lapar yang siap menerkam musuh. Melumatnya hingga hancur berkeping-keping.

Suara perintah dari komandan penggusuran terdengar kencang lewat pengeras suara. Memekakkan telinga.
Sedetik kemudian, operator alat berat pun segera mematikan mesin buldozer yang ganas itu. 

Baca Juga: Patut Diapresiasi, KBRI Singapura Luncurkan Buku Antologi Cerpen yang Libatkan Karya Pekerja Migran Indonesia

Suara alat berat pun seketika mati. Suasana menjadi senyap. Hening. Cahaya matahari masih diatas kepala. Belum menuruni langit. Sinarnya masih terasa garang.

”Langkahi mayat saya dulu sebelum kalian semua menghancurkan rumah itu,” teriaknya dengan sisa-sisa suara tuanya.

”Kalian semua memang tidak mengerti dengan sejarah. Kalian semua tidak paham sejarah. Kalian hanya mengerti menindas dan penindasan,” sambungnya dengan suara terbata-bata.

Baca Juga: Penulis A.S. Laksana: Tiga Hal Penting dalam Penulisan Cerpen

”Paham kah kalian semua, bahwa di rumah itu naskah sejarah bangsa dibuat? Tahukah kalian kalau di rumah itu menjadi awal dari berdirinya bangsa ini?” lanjutnya.

Ingatan lelaki tua itu melayang ke masa silam. Puluhan tahun yang lalu. Ya, puluhan tahun silam. Di rumahnya yang berdinding papan itu, beberapa tokoh bangsa asyik berbincang. Berdiskusi dengan penuh heroik.Wajah mereka tampak sangat serius. Sesekali terdengar suara kencang dari perbincangan itu.

"Kalau bukan sekarang, kapan kita merdeka," seseorang dari mereka bersuara agak keras. Menakutkan cecak yang menempel di papan rumah.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Matkuteng, Penjagal dari Kampung Selatan 

"Saya mendukung usulan brilian itu. Kita harus merdeka apa pun resikonya," sambung yang lain.

"Sudah terlalu lama mereka menjajah kita. Menghisap tumpah darah kita. Menghisap darah Ibu pertiwi. Apakah kita tidak malu direndahkan martabat diri kita? Padahal bangsa ini bangsa besar. Bangsa kuat, saatnya kita merdeka," seseorang dari mereka bersuara dengan keras sembari mengepalkan tangannya ke udara sembari meneriakkan kata merdeka.

"Merdeka," koor itu bergema kencang. Menembus cakrawala. 

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Ada Cerita Palsu dari Mulut Palsu Penutur Palsu

Ingatan lelaki tua itu kembali menerobos ruang waktu masa lampau. Saat cahaya rembulan mulai membangkrut, para tokoh bangsa itu telah siap dengan naskah proklamasi untuk dibawa ke ibu kota negara Jakarta dan dibacakan pada hari Jumat, 17 Agustus.

Dan lelaki tua itu sangat ingat dan masih ingat sekali, saat seorang dari tokoh bangsa itu memintanya untuk menjaga rumah itu.

"Pak Liluk harus menjaga rumah ini dengan baik. Di rumah ini, sejarah bangsa dimulai," ungkap seorang dari tokoh bangsa itu saat hendak meninggalkan rumahnya pada dini hari yang sangat dingin itu.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Kisah dari Koran Bekas 

"Siap, Pak. Insya Allah saya akan menjaga rumah ini dengan baik dan penuh tanggung jawab," janjinya sembari menyalami tangan tokoh bangsa itu.

Godaan untuk dirinya saat mendiami rumah itu sangat berat. Godaan uang terus mengaliri sekujur tubuhnya. Belasan pengusaha pernah menawar rumah itu dengan harga yang sangat fantastis. 

"Dengan uang sebesar itu Pak Liluk bisa membuat beberapa rumah baru. Dan bisa menunaikan ibadah haji," bujuk seorang pembeli.

Baca Juga: Rusmin Sopian: Amanah Publik untuk Kesejahteraan Publik

"Bahkan dengan harga yang saya sodorkan Bapak bisa hidup nyaman dan bahagia bersama keluarga dan anak-anak Bapak," goda pembeli yang lainnya.

Lelaki tua itu tidak bergeming sama sekali. Lelaki tua itu tidak tergoda untuk melego rumahnya. Lelaki tua itu tidak termakan rayuan gombal.

"Saya tidak mau berkhianat. Saya akan menjaga amanah itu dengan baik," jawabnya kepada para penawar rumahnya yang datang berduyun-duyun menggodanya.

Baca Juga: SATUPENA Akan Terbitkan Buku Kumpulan Esai, Puisi, Puisi Esai, dan Cerpen Tentang Pilkada 2024

"Walaupun harganya melangit," tanya para pengincar rumahnya.

"Walaupun harus makan nasi garam sekalipun, rumah ini tidak akan pernah saya jual," tegasnya. Para pengincar rumahnya cuma terdiam mendengar jawaban Pak Liluk.

Mereka pulang dengan tangan hampa. Sia-sia mereka membujuk Pak Liluk. 

Baca Juga: Puisi Denny JA: Dilema di Tanah Asing

Tiba-tiba lelaki tua itu tersungkur. Badan tuanya rebah di tanah. Suasana menjadi riuh. Bahkan sangat genting. Para petugas sibuk dan segera mengevakuasinya ke dalam mobil ambulan yang memang telah stand by sejak dari subuh di areal penggusuran.

Suara ambulance menembus jalanan kota yang padat. Dan dalam hitungan menit, lelaki tua itu tiba di sebuah rumah sakit ternama.

Sudah tiga hari lelaki tua itu terbaring dalam kamar sebuah rumah sakit. Dan sudah tiga hari pula para petinggi negeri sibuk mendatangi rumah sakit ternama itu. 

Baca Juga: Puisi Denny JA: Kuburan Mereka Berserakan di Berbagai Negara

Mereka mengunjungi seorang lelaki tua yang masih terbaring lemah dikamar super VVIP.. Pengamanan di rumah sakit pun sangat ketat. Bahkan super ketat. Khususnya di areal kamar dimana lelaki tua itu dirawat. Maklum yang memerintahkan itu adalah petinggi negeri.

"Berikan pelayanan yang terbaik buat Pak Liluk," perintahnya kepada tim dokter.

Para dokter terkenal di Kota dikerahkan untuk menyehatkan lelaki tua itu. Mereka bekerja siang dan malam. Sementara itu, belum ada tanda-tanda lelaki itu sehat. 

Baca Juga: Puisi Denny JA: Aktivis Ideologi Itu Memilih Menjadi Dokter

”Kita harus menggunakan hati nurani kita sebagai pemimpin. Jangan gunakan kekerasan dan kekerasan. Kita ada karena rakyat,” sebut petinggi negeri dalam pertemuan dengan para petinggi daerah.

”Dan saya minta urusan penggusuran itu dihentikan hingga waktu yang tak terbatas. Soal Pak Liluk mohon diselesaikan dengan cara-cara manusiawi,” perintah petinggi negeri.

Dan sebelum petinggi negeri membubarkan rapat, sebuah pesan di bisikan ajudannya. Petinggi Negeri tampak mengangguk-angguk. 

Baca Juga: Puisi Denny JA: Kubawa Cincin Janjiku

Ada segurat kesedihan terlihat di wajahnya. Kelopak matanya terlihat memerah. Seolah menahan kesedihan yang teramat dalam. 

”Innalilahi wa Innailaihi Rojiun. Pak Liluk telah wafat. Dan siapkan acara pemakamannya secara militer.  Saya yang akan memimpin upacara pemakaman beliau,” ujar petinggi negeri pelan.

”Apakah penggusuran tetap ditunda, Pak?” tanya seorang petinggi daerah yang hadir dalam rapat itu.

Baca Juga: Storytelling Melalui Puisi Esai tentang LGBT dan Lainnya

”Lakukan setelah seminggu wafatnya Pak Liluk,” perintah petinggi negeri.

Semua peserta rapat tersenyum bahagia. Mereka keluar ruang rapat dengan wajah gembira penuh kemenangan. 

Sementara berita kematian Pak Liluk terus menghiasi halaman depan koran-koran dan media massa. Semua media massa memberitakan kematian pahlawan tua itu.

Baca Juga: Denny JA Dinner Bareng Pemenang Lomba Resensi Buku Hijrah Berkali-Kali Ala Denny JA

Semua orang membicarakannya dengan narasi heroik sebagaimana heroiknya para petugas yang akan menggusur rumah mereka sepekan setelah Pak Liluk di makamkan secara militer dan kenegaraan. 

Toboali,  10 November 2024

*Catatan: 

Baca Juga: Buku Hijrah Berkali-Kali Ala Denny JA Didiskusikan di Rumah Kerajaan Buleleng Bali

Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kabupaten Bangka Selatan. Beberapa kumpulan cerpennya telah diterbitkan dalam buku. Di antaranya Mereka Bilang Ayah ku Koruptor (2017) dan Penjaga Makam (2021) terbitan Galuh Patria Jogjakarta. Saat ini Rusmin Sopian tinggal di Toboali Bangka Selatan bersama istri dan dua putrinya yang cantik.***

Berita Terkait