ORBITINDONESIA.COM - Jakarta, rimba beton tanpa dedaunan
Pohon-pohon mu adalah gedung tinggi mencakar awan
Berakar di dasar bumi, betonmu mencengkeram kokoh
Tapi langitmu kelam, berselimut asap dan peluh
Jalan-jalanmu bak sungai tak pernah sunyi
Arus kendaraan mengalir bagai air mencari tepi
Klakson berteriak seperti burung-burung gelisah
Menyanyikan lagu lelah di sela hari nan resah
Di pasar dan lorong sempit, mimpi-mimpi dijajakan
Seperti cahaya lilin mencoba melawan badai
Di bawah gemerlap neon tak pernah tidur
Ada jerit rindu pada malam penuh sunyi yang hancur
Baca Juga: Puisi Ahmad Gusairi: Waktu Berganti Asa Bergulir
Langit kotamu adalah kanvas abu-abu suram
Menyembunyikan bintang dalam kabut polusi.
Mentari datang tersenyum dengan wajah muram
Pulang tanpa selamat tinggal, lelah menatap realisasi
Ruang-ruang kaca megah bak singgasana
Tapi di bawahnya, senyum nelangsa menjadi cerita
Jembatan penyeberangan memandang jalan-jalan padat
Saksi bisu orang-orang mencari ruang nan sesak
Taman-taman kota, oase kecil hampir hilang
Berusaha tersenyum di tengah gurun beton nan garang
Pepohonan melambaikan salam kepada burung besi
Yang melintasi cakrawala dengan hati tertutup api
Baca Juga: Puisi Sutiono: Rimba Leluhur yang Dijual Murah
Keteguhan Jakarta seperti palung jiwa tak retak
Namun deru langkah membuatnya terengah, lelah
Kota ini hidup di antara rindu dan kenyataan
Menunggu pelangi harap dijanjikan hujan
Di sudut gelap, anak-anak bermain di sela bahaya
Mencuri tawa dari dunia kadang tak ramah
Mimpi mereka melayang seperti layang-layang
Namun angin kota sering mencabut tali yang menjulang
Semut-semut manusia berlomba dengan waktu
Mengejar rezeki di bawah bayang-bayang asa
Tapi seringkali, rimba beton ini membelai mereka
Hanya untuk kembali menelan harapan mereka
Baca Juga: Puisi Hendraone Basel: Putaran Waktu
Jakarta, kau kota penuh teka-teki, ajang pertempuran
Di satu sisi kau megah, di sisi lain penuh cobaan
Tangan-tangan kecil meraih pintu-pintu harapan
Namun terkadang, pintu itu terkunci dalam kebisingan