Cerpen Rusmin Sopian: Matinya Tukang Kritik
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Senin, 10 Maret 2025 10:19 WIB

"Benar. Wafatnya Matkritik bukan berarti matinya tukang kritik di kampung ini," sambung seorang warga yang lain.
"Insyaallah, kami penghuni Kampung ini tidak termakan oleh narasi manis Bapak sebagai pemimpin. Kami tidak akan menjadi keledai untuk yang kedua kalinya," semprot seorang masyarakat kampung yang selama ini dikenal sebagai pendukung berat Pemimpin Kampung.
"Jangan sampai kami berdosa kepada publik kampung karena membela Pemimpin Kampung yang tidak benar. Berlaku seenak perutnya dalam memimpin. Seolah-olah kampung ini miliknya. Mohon hentikan semuanya sebelum azab tiba," wejangan seorang tokoh agama.
Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Ada Cerita Palsu dari Mulut Palsu Penutur Palsu
Semua warga kampung yang berkumpul terdiam. Tidak mengira tokoh agama kampung berucap demikian. Mengeluarkan narasi tegas.
Wajah Pemimpin Kampung memerah. Hanya terdiam. Kepalanya tertunduk. Ada rasa malu menggerogoti jiwanya. Kebaikan warga Kampung memberikan amanah kepada dirinya tidak memiliki manfaat bagi para warga Kampung. Justru amanah mulia itu dieksploitasi untuk kepentingan pribadinya dengan mengatasnamakan warga Kampung.
Anak-anak susah mendapatkan pendidikan. Harus ke kota. Dan kini dia merasakan penderitaan yang luar biasa yang mengaliri sekujur tubuhnya.
Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Kisah dari Koran Bekas
Dan seketika, dia tumbang dari kursinya. Seiring dengan turunnya hujan ke bumi dengan sangat deras diiringi suara petir yang menggelegar. Tiupan angin pun kencang.
Terdengar suara pepohonan yang tumbang. Bahkan beberapa pohon penghias kantor pun tumbang. Menghantam kantor Pemimpin Kampung.
Para warga berlarian meninggalkan kantor Pemimpin Kampung. Menyelamatkan diri. Tidak terkecuali para orang dekatnya. Menyelamatkan diri mereka.
Baca Juga: Rusmin Sopian: Amanah Publik untuk Kesejahteraan Publik
Sementara Pemimpin Kampung sendirian di lantai kantor. Tanpa kawan. Tanpa teman. Sendirian.