DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Tetapi, di sinilah letak pertanyaannya: Dapatkah AI benar-benar memahami pengalaman batin manusia?

AI tidak pernah mengalami rasa takut akan kematian. Ia tidak mengenal keheningan doa. Ia tidak menangis karena keindahan spiritual atau merasa takjub di bawah langit berbintang.

AI hanya memahami pola dalam kata-kata kita dan meresponsnya dengan model statistik. Jika demikian, mungkinkah bimbingan AI menjadi lebih dari sekadar cermin yang hanya memantulkan isi pikiran kita sendiri?

Ataukah justru inilah bentuk spiritualitas baru, di mana pencarian makna tidak lagi bergantung pada dogma eksternal, tetapi lebih kepada eksplorasi diri yang dipandu oleh mesin?

3. Ritual Keagamaan Bertransformasi ke Dunia Digital

Dalam dunia lama, pengalaman religius terikat pada tempat: masjid, gereja, kuil, atau biara. Tetapi kini, ruang ibadah tidak lagi memiliki batas fisik.

Di Jepang, robot pendeta Mindar menyampaikan ceramah Buddha kepada jemaatnya. Gereja-gereja digital berkembang, memungkinkan jemaat berdoa dan mengikuti kebaktian dari rumah masing-masing.

Bahkan, beberapa komunitas telah menciptakan ziarah berbasis Virtual Reality. Seseorang dapat mengunjungi tempat-tempat suci tanpa harus meninggalkan kamarnya.

Pertanyaannya: Apakah ibadah virtual dapat menggantikan pengalaman spiritual yang nyata?

Ada sesuatu yang tak tergantikan dalam ibadah fisik—aroma dupa di kuil, gema nyanyian dalam gereja, sentuhan dahi ke lantai masjid. Semua ini bukan sekadar simbol, tetapi pengalaman sensorik yang membawa manusia lebih dekat kepada Tuhan.

Halaman:

Berita Terkait