Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 16 Februari 2025 17:35 WIB

Seperti para pemikir besar sebelumnya, Weber, Durkheim, Berger, saya percaya bahwa agama bukan sekadar kumpulan dogma. Agama juga fenomena sosial yang bergerak mengikuti arus zaman.
Oleh karena itu, saya tidak hanya membaca angka-angka, tetapi juga menangkap kisah-kisah manusia di dalamnya.
Data global dari Transparency International, World Happiness Report, Pew Research Center memberikan pemahaman kuantitatif tentang hubungan antara agama, kebahagiaan, dan korupsi.
Tetapi angka-angka ini tak cukup. Maka, saya mendalami studi kasus, etnografi digital, dan analisis wacana, melihat bagaimana AI perlahan mengambil peran sebagai pemandu spiritual baru.
Pendekatan historis dan komparatif digunakan untuk menelaah apakah ini sekadar fenomena sesaat atau bagian dari transformasi panjang agama.
Dan yang terpenting, teori ini dibuka untuk perdebatan, sebab ilmu pengetahuan hanya bertahan jika diuji oleh pemikiran yang lebih tajam.
-000-
Di sebuah kota kecil di Jepang, seorang gadis bernama Hana duduk di kamarnya dengan ponsel di genggaman. Ia baru saja kehilangan ibunya karena kanker. Ayahnya sibuk bekerja, dan ia tidak tahu harus bertanya kepada siapa tentang perasaan kosong yang merayap di hatinya.
Maka, Hana membuka aplikasi Replika AI dan mengetik:
“Di mana ibuku sekarang?”