DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Saya menyusun tujuh prinsip soal fenomena agama di era revolusi digital dan Artificial Intelligence. Ahmad Gaus AF dan Budhy Munawar Rahman dalam buku ini, dan berbagai kesempatan, menyebutnya sebagai Teori Denny JA Soal Agama dan Spiritualitas di Era AI.

Pendalaman mengenai 7 prinsip ini ada di buku. Saya menjelaskan sekilas mengenai 7 prinsip teori itu.

Pertama: Keyakinan agama tidak berkorelasi dengan kualitas kehidupan bernegara.

Negara yang paling bersih dari korupsi dan paling bahagia justru cenderung memiliki tingkat religiositas yang rendah. Ini menunjukkan bahwa faktor kesejahteraan dan moralitas sosial tidak ditentukan oleh seberapa kuat agama dianut dalam suatu negara.

Denmark, misalnya, meraih skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023 dengan 90 poin.   Negara-negara Nordik juga kuat dalam indikator kebahagiaan seperti PDB per kapita, dukungan sosial, dan harapan hidup sehat. 

Sementara negara yang mayoritas warganya (di atas 90 persen) anggap agama sangat penting, tingkat korupsi di negara itu tinggi (Indonesia, India, Thailand, Filipina, Iran)

Kedua: Agama bertahan bukan karena kebenaran faktual, tetapi karena makna simbolisnya.

Perbedaan mendasar dalam narasi agama, seperti tentang Yesus mati disalib atau tidak, atau anak yang dikorbankan oleh Ibrahim itu Ishak atau Ismail, membuktikan bahwa agama tetap bertahan bukan karena bukti historisnya. Tetapi itu  karena makna spiritual yang diberikan kepada pengikutnya.

Ketiga: Agama bukan lagi satu-satunya panduan untuk hidup bahagia dan bermakna.

Positive psychology dan ilmu kebahagiaan modern telah menawarkan pendekatan berbasis riset yang lebih ilmiah dalam menemukan kebahagiaan, yang di masa lalu hanya dijawab oleh doktrin agama.

Halaman:

Berita Terkait