Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 16 Februari 2025 17:35 WIB

Dengan mengatakan bahwa penderitaan di dunia ini adalah ujian sebelum kebahagiaan di surga, agama membuat kaum buruh menerima nasib mereka tanpa memberontak. Marx menyebutnya “candu masyarakat.”
Ini bukan karena ia meremehkan agama, tetapi karena ia melihat bagaimana agama digunakan untuk membuat rakyat tetap tenang dalam penderitaan.
Bagi Marx, dunia ini tidak perlu diselamatkan oleh Tuhan, tetapi oleh revolusi!
Maka, di tangan empat pemikir ini, agama bukan lagi sekadar soal kepercayaan pribadi. Ia adalah refleksi dari zaman, cermin dari perubahan sosial yang melingkupinya.
Tylor melihatnya sebagai jejak evolusi intelektual manusia. Durkheim menemukannya sebagai fondasi bagi keteraturan sosial. Weber menyoroti perannya dalam membentuk sistem ekonomi yang mendunia. Marx, dengan ketajamannya, melihat bagaimana agama bisa menjadi alat untuk menjaga ketimpangan.
Namun di balik semua perbedaan ini, ada satu benang merah: agama bukanlah sesuatu yang statis. Ia tumbuh, berubah, dan beradaptasi. Ia bisa menjadi alat pembebasan, tetapi juga alat penindasan.
Ia bisa mempererat masyarakat, tetapi juga menciptakan batas-batas baru. Maka, pertanyaan terbesar yang tersisa bagi kita bukanlah apakah agama benar atau salah, tetapi bagaimana ia terus membentuk cara kita memahami dunia—dulu, kini, dan nanti.
Tetapi ada satu kelemahan dalam teori-teori ini. Mereka dibangun dalam dunia yang masih mengandalkan manusia sebagai pusat produksi pengetahuan spiritual.
-000-
Di masa lalu, manusia mencari Tuhan di tempat-tempat yang sunyi—gua pertapaan, biara terpencil, puncak gunung, atau kedalaman hati yang hening.