Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 16 Februari 2025 17:35 WIB

Bahkan ketika sekularisme menggantikan dogma, ia percaya bahwa masyarakat akan tetap menciptakan bentuk-bentuk “agama baru”—entah dalam nasionalisme, ideologi politik, atau nilai-nilai yang mengikat kita sebagai satu kesatuan.
Tetapi bagi Max Weber, agama bukan hanya tentang bagaimana manusia berkelompok, melainkan tentang bagaimana mereka bekerja dan membangun dunia.
Ia hidup di masa ketika kapitalisme merajai Eropa, mengubah kehidupan dari pertanian ke industri, dari komunitas feodal ke masyarakat yang didorong oleh efisiensi dan keuntungan.
Ia melihat ke sekelilingnya dan bertanya: mengapa kapitalisme berkembang begitu pesat di negara-negara Protestan seperti Inggris, Jerman, dan Belanda, sementara di negara-negara Katolik, pertumbuhannya lebih lambat
Jawabannya ia temukan dalam ajaran Calvinisme, yang menekankan bahwa kerja keras bukan sekadar urusan duniawi, tetapi tanda keberkahan Tuhan. Dalam sistem ini, kesuksesan bukan sekadar kebetulan, melainkan bukti bahwa seseorang adalah bagian dari yang “terpilih.”
Dengan keyakinan seperti ini, orang-orang bekerja tanpa lelah, mengumpulkan modal, dan membangun sistem ekonomi yang terus tumbuh. Kapitalisme, yang selama ini dianggap sebagai produk ekonomi semata, dalam pandangan Weber adalah warisan dari keyakinan keagamaan.
Tetapi tidak semua orang melihat agama dengan pandangan yang penuh apresiasi. Karl Marx, yang menyaksikan ketidakadilan kapitalisme dengan mata kepalanya sendiri, melihat agama dengan kecurigaan.
Ia lahir di tengah eksploitasi kelas pekerja yang mengerikan. Pabrik-pabrik di Eropa tidak hanya menghasilkan barang, tetapi juga penderitaan: kerja tanpa henti, upah yang minim, dan kemiskinan yang turun-temurun.
Di tengah situasi itu, agama hadir sebagai pelipur lara, menawarkan janji kehidupan yang lebih baik setelah mati.
Namun bagi Marx, janji ini adalah jebakan. Ia melihat agama sebagai alat kelas penguasa untuk mempertahankan dominasi.