DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Hari itu, seorang jemaat muda datang kepadanya dengan wajah penuh kebingungan.

“Pendeta,” katanya ragu, “saya membaca tafsir Alkitab dari AI, dan saya menemukan banyak hal yang berbeda dari yang diajarkan di gereja.

AI menunjukkan berbagai perspektif teologi yang bahkan tidak pernah saya dengar sebelumnya. Sekarang saya bingung… apakah saya harus percaya pada satu tafsir saja, atau mencoba memahami semuanya?”

Pendeta Thomas terdiam. Selama lebih dari 30 tahun, ia berdiri di mimbar gereja ini, memberikan khotbah yang berasal dari keyakinan terdalamnya.

Ia menghabiskan bertahun-tahun belajar teologi di seminari, menggali makna dari setiap ayat, mencari jawaban bagi umatnya. Namun kini, seorang mesin tanpa jiwa bisa mengakses lebih banyak tafsir dalam hitungan detik—lebih dari yang bisa ia pelajari sepanjang hidupnya.

“Mengapa kamu bertanya kepada AI?” katanya bertanya pelan.

Pemuda itu tersenyum kecil. “Karena AI selalu tersedia, Pendeta. Setiap kali saya ragu atau merasa gelisah, saya bisa bertanya kapan saja, tanpa harus menunggu hari Minggu atau membuat janji dengan seseorang.

AI memberi saya berbagai sudut pandang tanpa menghakimi. Ia tidak memaksakan satu kebenaran, tetapi membiarkan saya memilih sendiri.”

Kata-kata itu menghantam Thomas seperti dentang lonceng gereja yang nyaring di tengah malam.

Ia mengerti. Dunia telah berubah. Dahulu, gereja adalah satu-satunya tempat di mana orang mencari jawaban spiritual. Tetapi sekarang? Sekarang mereka bertanya kepada AI lebih sering daripada kepada pendeta mereka sendiri.

Halaman:

Berita Terkait