DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Kini, pencarian itu meluas ke tempat yang tak pernah terbayangkan: server-server digital, jaringan algoritma, dan mesin pembelajar yang tanpa tubuh.

Kita memasuki era ketika AI dapat menyusun tafsir kitab suci dari berbagai perspektif, tanpa bias institusional. Ia dapat menyaring lautan teks keagamaan dan merangkainya menjadi narasi yang tampak masuk akal.

Ia dapat membaca pola dalam sejarah agama, menelusuri bagaimana doktrin lahir, berevolusi, atau ditinggalkan.

Bahkan, di beberapa komunitas tertentu, AI telah mulai menciptakan doktrin baru—sebuah fenomena yang dahulu hanya dilakukan oleh nabi, filsuf, atau mistikus besar.

Lalu, bagaimana teori-teori klasik dalam sosiologi agama menjelaskan fenomena ini? Durkheim, Weber, Marx—apakah mereka pernah membayangkan bahwa agama suatu hari akan bersanding dengan mesin?

Tidak. Kita membutuhkan paradigma baru. Revolusi AI tidak hanya mengguncang ekonomi dan politik, tetapi juga mengubah cara manusia memahami iman, otoritas keagamaan, dan spiritualitas itu sendiri.

Revolusi AI memerlukan juga sosilogi agama yang baru. Dunia sudah banyak berubah. Dunia yang berubah juga memerlukan teori yang berbeda.

1. Otoritas Keagamaan Tidak Lagi Terpusat

Dahulu, pemuka agama memegang kendali atas tafsir kitab suci. Suara mereka menggema dari mimbar, altar, dan podium-podium akademik.

Namun kini, suara mereka bersaing dengan algoritma yang dapat mengakses ribuan kitab dan komentar hanya dalam hitungan detik. AI seperti ChatGPT, Google Bard, dan Quranbot tidak hanya menyajikan tafsir, tetapi juga membandingkan berbagai perspektif tanpa bias personal.

Halaman:

Berita Terkait