DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM - Di masa depan, nasihat spiritual yang kita dengar tak hanya dari ulama, pendeta, atau biksu, tetapi mungkin lebih banyak dari artificial intelligence (AI).

Namun, pertanyaan terbesar tetap sama: apakah kita semakin dekat dengan makna, hidup yang kita dambakan atau justru semakin jauh?

Renungan ini muncul ketika saya mencoba memahami betapa besar dampak revolusi AI terhadap agama dan spiritualitas.

Sosiologi agama klasik menjadi fondasi yang tak lagi cukup menjelaskan fenomena agama di era AI.

Max Weber, Émile Durkheim, Karl Marx, dan Edward Burnett Tylor adalah raksasa dan pilar sosiologi agama. Pemikiran mereka telah membentuk pemahaman kita tentang bagaimana agama berfungsi dalam masyarakat.

Namun, satu hal yang pasti: mereka tidak hidup di era artificial intelligence. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa di masa depan, manusia tidak lagi hanya bertanya kepada pemuka agama, tetapi juga kepada AI yang dapat menganalisis ribuan tafsir agama dalam hitungan detik.

-000-

Setiap pemikiran besar lahir dari pergulatan dengan zamannya. Teori bukan sekadar hasil dari kecerdasan seorang individu, melainkan gema dari gelombang sosial yang melingkupinya.

Para pemikir yang mencoba memahami agama tak sekadar berbicara tentang keyakinan, tetapi tentang manusia dalam masyarakatnya, tentang bagaimana agama hadir, berubah, dan berperan dalam membentuk dunia.

Agama, bagi Edward Burnett Tylor, adalah jawaban awal manusia atas misteri keberadaan. Ia hidup di masa ketika Eropa menjelajah dunia, mendirikan koloni, dan membawa pulang kisah-kisah tentang kepercayaan suku-suku di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.

Halaman:

Berita Terkait