DECEMBER 9, 2022
Ekonomi Bisnis

Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus: Indonesia Harus Bersiap Hadapi Dampak Lanjutan Konflik Iran-Israel

image
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus di Jakarta, Senin, 12 Agustus 2019. ANTARA/AstridFaidlatulHabibah/pri.

ORBITINDONESIA.COM - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mengungkapkan, Indonesia perlu bersiap menghadapi dampak lanjutan dari konflik antara Iran dan Israel.

"Meskipun tidak berdampak secara langsung, konflik tersebut berpotensi memicu ketidakstabilan ekonomi global, termasuk sektor energi, perdagangan, hingga fiskal nasional," kata Ahmad Heri Firdaus dalam diskusi publik INDEF yang bertajuk "Dampak Perang Iran-Israel terhadap Perekonomian Indonesia", di Jakarta, Minggu, 29 Juni 2025.

Menurut Ahmad Heri Firdaus, Iran merupakan salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar ketiga di dunia. Apabila pasokan minyak dari negara tersebut terganggu, disusul dengan penutupan jalur perdagangan Selat Hormuz, maka harga minyak global dapat melonjak tajam.

Baca Juga: Kepala Pengawas Nuklir PBB: Iran Dapat Mulai Memperkaya Uranium untuk Bom dalam Beberapa Bulan

“Kira-kira negara-negara pengimpor minyak seperti Jepang, bahkan Eropa tentunya mengalami kenaikan biaya energi. Kalau kita lihat, (ekspor minyak) Timur Tengah itu lebih besar ke China, India, Eropa, maka negara-negara itu yang tentunya terkena dampak lebih dulu ketimbang Indonesia,” ujar Ahmad.

Dari hasil simulasi menggunakan model ekonomi Global Trade Analysis Project (GTAP), Ahmad memproyeksikan bahwa perang Iran-Israel berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,005 persen.

Meskipun tampak kecil secara angka, dampak tidak langsung dapat menjadi lebih besar jika negara mitra dagang utama seperti China dan Jepang ikut terpukul. Dalam analisisnya, China dan Jepang diprediksi mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi masing-masin 0,037 persen dan 0,048 persen imbas dari konflik Iran-Israel.

Baca Juga: Mizan: Serangan Israel Terhadap Penjara Evin di Iran Menewaskan Lebih dari 70 Orang

Selain itu, Indonesia juga diprediksi akan mengalami penurunan volume impor pada berbagai komoditas, mulai dari hasil pertanian, pangan olahan, logam, tekstil, hingga produk petrokimia dan manufaktur berat.

Kenaikan harga input produksi akibat lonjakan harga minyak dan gas pun berpotensi menurunkan daya saing ekspor Indonesia. Dalam situasi seperti ini, menurut dia, Pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah antisipatif jangka pendek.

Prioritas utama adalah menjaga stabilitas harga BBM dan elpiji (LPG) di dalam negeri. Mekanisme subsidi perlu diperkuat agar daya beli masyarakat tetap terjaga dan inflasi tidak melonjak tajam.

Baca Juga: Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun Sebut Konflik Iran-Israel Belum Ganggu Subsidi BBM

“Kemudian kita juga bisa melakukan diversifikasi sumber impor energi. Jadi, kita mengalihkan impor minyak dari negara-negara yang konflik ke yang non-konflik. Oleh karena itu, perlu ada percepatan dalam hal kerja sama energi di negara-negara seperti ASEAN, Australia, atau yang lainnya. Jadi, mungkin ada kerja sama bilateral secara khusus dalam hal perdagangan energi," ujarnya.

Halaman:

Berita Terkait