Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 16 Februari 2025 17:35 WIB

Dunia Barat, dengan segala kejayaannya, berdiri sebagai pengamat peradaban-peradaban yang dianggap lebih “primitif.” Dari sanalah lahir keyakinan bahwa masyarakat berkembang seperti organisme—dari bentuk yang sederhana menuju yang kompleks.
Di Inggris, tempat Tylor berkarya, gagasan evolusi Darwin telah mengguncang keyakinan lama. Jika spesies berubah dari yang paling sederhana menuju yang paling maju, bukankah hal yang sama berlaku untuk kepercayaan manusia?
Agama, dalam pandangan Tylor, adalah perjalanan dari animisme—kepercayaan pada roh—menuju politeisme dan akhirnya monoteisme. Bagi dunia kolonial yang menganggap dirinya lebih maju, teori ini terdengar seperti pembenaran akademik atas dominasi mereka.
Seakan-akan ada hierarki budaya, di mana masyarakat “primitif” sedang berjalan menuju model peradaban Eropa. Namun, apakah benar keyakinan manusia sekadar soal evolusi ke arah yang lebih rasional?
Tylor berbicara tentang agama sebagai warisan intelektual yang berkembang, Émile Durkheim melihatnya dari sudut yang berbeda. Ia lahir dalam pergolakan Revolusi Industri yang mengubah wajah Prancis.
Gereja yang dulu memegang kendali mulai kehilangan cengkeramannya. Kota-kota tumbuh, individualisme meningkat, dan tatanan lama mulai runtuh.
Di tengah sekularisasi yang merajalela, Durkheim melihat sesuatu yang lebih dalam: agama bukan sekadar urusan pribadi, tetapi perekat sosial yang menghubungkan manusia satu sama lain.
Masyarakat modern mulai kehilangan ikatan kolektifnya. Tradisi digantikan oleh hukum, dan komunitas berubah menjadi individu-individu yang mengejar kepentingannya masing-masing.
Jika agama selama berabad-abad menjaga keteraturan dengan ritus dan kepercayaan bersama, bagaimana masyarakat bisa tetap utuh dalam dunia yang semakin terfragmentasi?
Bagi Durkheim, jawabannya jelas: agama bukan soal benar atau salah, melainkan tentang fungsi sosialnya. Ia memberikan makna bersama, membentuk moralitas kolektif, dan menciptakan solidaritas yang mengatasi batas individu.