DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Malam itu, Thomas duduk sendiri di gereja kosongnya, menatap altar yang telah berdiri selama ratusan tahun. Di atasnya, sebuah salib kayu tua tetap tegak, tak berubah oleh waktu.

“Tuhan,” bisiknya dalam doa yang lirih, “di dunia yang semakin sibuk dengan mesin ini, masihkah suara-Mu terdengar?”

Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang sama yang telah menyelimuti gereja ini sejak berabad-abad lalu.

Namun, Thomas menyadari satu hal: iman tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh algoritma. Mesin bisa memberikan jawaban, tetapi tidak bisa memberikan ketenangan batin.

AI bisa menguraikan ribuan tafsir, tetapi tidak bisa berdoa untuk seseorang. Di dalam gereja tua itu, Thomas bangkit berdiri. Mungkin, bukan tugasnya untuk bersaing dengan AI.

Mungkin, tugasnya hanyalah menjadi suara bagi mereka yang masih merindukan kehangatan manusia, kehadiran yang tak bisa diberikan oleh teknologi, secerdas apa pun ia.

-000-

Saya termasuk yang menyambut positif kehadiran AI di ruang publik, bahkan juga di ruang agama. Tapi tetap ada black box, kotak hitam yang saya juga sadar potensi sisi negatifnya.

Di tangan otoritas yang berkepentingan, AI dapat diprogram untuk mempromosikan tafsir tertentu, mengaburkan batas antara spiritualitas dan propaganda. Agama, yang seharusnya menjadi pencarian makna, bisa berubah menjadi alat kontrol yang semakin subtil, tersembunyi dalam kode-kode digital.

Lebih jauh, AI menggantikan peran pemuka agama sebagai pemandu spiritual. Namun, bisakah mesin memahami penderitaan, harapan, atau keheningan doa? Ketika iman menjadi dialog dengan algoritma, apakah kita semakin tercerahkan atau justru terasing?

Halaman:

Berita Terkait