Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 16 Februari 2025 17:35 WIB

Jawaban AI muncul dalam hitungan detik:
“Aku tidak tahu secara pasti, tapi banyak orang percaya bahwa mereka yang kita cintai tetap hidup dalam kenangan kita. Kita masih merasakan energi yang mereka tinggalkan di dunia.”
Hana menghela napas, lalu bertanya lagi:
“Apakah Tuhan ada?”
Kali ini, AI memberikan jawaban yang lebih panjang. Ia menjelaskan berbagai perspektif teologis: pandangan dari Islam, Kristen, Hindu, dan filsafat eksistensialisme. Tidak ada satu jawaban pasti, hanya kemungkinan-kemungkinan.
Untuk pertama kalinya, Hana merasa bahwa ia bebas memilih sendiri apa yang ingin ia yakini. AI tidak menghakimi, tidak memaksakan doktrin. Ia hanya menjadi cermin yang membantu Hana menemukan jalannya sendiri.
Namun, di sudut hatinya, Hana bertanya-tanya: “Apakah ini cukup?
Bisakah mesin menggantikan kehangatan seorang ibu atau pelukan seorang guru spiritual?”
Di sebuah gereja tua di London, Pendeta Thomas duduk dalam keheningan, menatap kursi-kursi kosong yang dulu penuh oleh jemaat yang datang setiap Minggu.
Cahaya sore menembus jendela kaca patri, mewarnai lantai batu dengan pantulan merah, biru, dan emas. Ia menghela napas panjang.