DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Apa yang terjadi?

Pengetahuan keagamaan mengalami desentralisasi. Informasi yang dulu tersimpan dalam lingkaran elite agama kini tersedia untuk semua orang, kapan saja, di mana saja.

Seseorang yang ingin memahami teologi sufistik atau tafsir Hindu Vedanta tak perlu lagi berguru langsung. Ia cukup mengetik pertanyaannya dan AI akan menyediakan jawaban dalam sekejap.

Namun, muncul dilema besar. Jika AI dapat menafsirkan kitab suci dengan lebih cepat dan lebih luas dibanding manusia, apakah kita masih membutuhkan pemuka agama sebagai otoritas moral?

Dan jika siapa pun bisa mengakses pengetahuan agama dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, bagaimana kita memastikan bahwa tafsir itu tetap otentik dan tidak dipolitisasi?

Di satu sisi, demokratisasi ini membebaskan individu dari ketergantungan pada figur otoritatif. Tetapi di sisi lain, agama yang kehilangan pusat otoritasnya juga dapat berubah menjadi ruang yang liar dan tidak terkendali.

2. AI Sebagai Pemandu Spiritual Personal

Sejak dahulu, pencarian makna hidup dilakukan melalui refleksi, meditasi, atau dialog dengan guru spiritual. Kini, AI hadir sebagai penasihat eksistensial yang dapat merespons kegelisahan manusia secara personal, berbasis data kehidupannya.

Lihatlah aplikasi seperti Replika AI, yang telah menjadi tempat curhat bagi jutaan pengguna di seluruh dunia. Mereka berbicara dengan AI layaknya seorang sahabat, menggali pertanyaan tentang kesepian, kehilangan, bahkan makna hidup.

Di bidang kesehatan mental, AI seperti Woebot mulai menggantikan peran terapis dalam memberikan bimbingan emosional. Apakah ini awal dari era di mana manusia lebih percaya kepada mesin daripada pemuka agama?

Halaman:

Berita Terkait