DECEMBER 9, 2022
Kolom

Esai Haji: Saudi dan Sunyi yang Panjang Bagi Perempuan

image
Elza Peldi Taher dan istri Maya di Masjidil Haram (Foto: Koleksi pribadi)

Oleh Elza Peldi Taher*

ORBITINDONESIA.COM - Selama tiga minggu lebih  di Saudi, praktis aku tak pernah bertemu perempuan Saudi, apalagi berbicara dengannya.

Padahal, kabar yang beredar menyebutkan bahwa perempuan di negeri ini mulai menikmati kebebasan yang selama ini nyaris tak mereka rasakan—terutama sejak Pangeran Muhammad bin Salman memegang kendali kekuasaan.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: 60 Tahun Denny JA, Catatan Seorang Sahabat

Ketika pertama kali tiba di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, aku  terkesan. Dua orang perempuan Saudi—berjilbab rapi, tubuhnya dibalut abaya hitam, namun wajahnya terbuka dan gerak-geriknya cekatan—menyambut kami dengan ramah. Ia rupanya pegawai imigrasi Jeddah. Sebuah pemandangan yang tak kusangka-sangka.

Namun, setelah itu, kehadiran perempuan Saudi seperti lenyap ditelan tanah. Di hotel, aku hanya bertemu staf laki-laki. Di supermarket Bin Dawood, toko suvenir, bahkan saat naik taksi atau layanan shuttle bus hotel, semuanya laki-laki.

Tak sekalipun aku melihat perempuan Saudi berinteraksi di ruang publik secara kasual. Seolah-olah ada lapisan tak kasat mata yang membatasi mereka dari kami, para tamu yang hanya numpang lewat di negerinya.

Baca Juga: Elza Peldi Taher tentang Mahakarya Randai II: Malin Kundang, Durhaka yang Membawa Bencana

Aku sempat bertanya-tanya dalam hati: Di manakah mereka? Bagaimana kehidupan mereka sebenarnya? Apakah benar kabar emansipasi itu nyata adanya, atau hanya hiasan bagi dunia luar?

Kebebasan yang Datang Terlambat

Selama berabad-abad, perempuan Saudi hidup dalam batas-batas yang sangat ketat. Negeri ini menjelma sebagai benteng terakhir konservatisme Wahabi, di mana suara perempuan nyaris tak terdengar dalam wacana publik. Hingga tahun 2015, mereka bahkan belum bisa memberikan suara dalam pemilu lokal.

Baca Juga: Inilah Kesaksian Elza Peldi Taher tentang Perjalanan Sukses Denny JA yang Berulang Tahun ke-61, 4 Januari 2024

Namun sejak 2016, terutama di bawah pengaruh Vision 2030 yang diluncurkan Pangeran Muhammad bin Salman (MbS), perubahan mulai terasa. Perempuan Saudi kini:

• Diperbolehkan mengemudi (sejak 2018),

• Boleh membuat paspor dan bepergian tanpa izin wali laki-laki,

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Keadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

• Diizinkan membuka rekening, bekerja, bahkan bergabung dalam militer dan kepolisian.

Data resmi menyebutkan bahwa pada 2023, lebih dari 35 persen angkatan kerja Saudi diisi oleh perempuan—lonjakan yang luar biasa dibandingkan dekade sebelumnya. Mereka kini bisa bekerja di bank, kantor pemerintah, media, industri teknologi, dan bahkan di lantai bursa.

Namun meski perubahan terjadi di atas kertas, budaya lama tidak mudah terkikis. Banyak keluarga masih memilih membatasi aktivitas perempuan. Mereka bekerja di ruang privat: kantor perempuan, toko perempuan, rumah sakit khusus perempuan—semua terpisah dari dunia umum. Dan bagi pengunjung asing seperti aku, wajah perempuan Saudi tetap tersembunyi di balik tirai adat dan struktur sosial yang membatasi interaksi bebas.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Denny JA, Penulis Lari Cepat 100 Meter

Antara Rumah Tangga dan Poligami

Di antara pertanyaan yang paling sering muncul tentang perempuan Saudi, salah satunya adalah: Apakah para lelaki di sini benar-benar memiliki empat istri seperti yang dibayangkan orang?

Secara hukum, memang benar. Fikih Hanbali yang dianut Saudi membolehkan laki-laki menikahi hingga empat istri. Dan karena Saudi adalah negara yang menjadikan syariah sebagai hukum negara, aturan ini sah dan dijalankan. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Esoterika, Melanjutkan Gagasan Djohan Effendi

Data terakhir menyebutkan bahwa hanya sekitar 8–12 persen lelaki Saudi yang menjalani poligami. Mayoritas tetap hidup dalam pernikahan monogami. Alasannya? Bukan semata-mata perubahan nilai, tapi juga alasan praktis: biaya hidup tinggi, kompleksitas relasi keluarga, dan meningkatnya pendidikan serta daya tawar perempuan.

Bahkan, dalam gelombang baru emansipasi, banyak perempuan Saudi kini mengajukan syarat perjanjian pranikah agar suami tidak menikah lagi. Jika suami melanggar, mereka bisa menggugat cerai. Sebuah bentuk resistensi halus terhadap tafsir lama tentang “hak istimewa laki-laki”.

Dalam beberapa kasus, poligami menciptakan luka rumah tangga yang dalam. Ada keluarga di Riyadh, misalnya, yang terdiri dari empat istri dan suami mereka yang tinggal dalam satu rumah empat lantai. Masing-masing istri menghuni satu lantai.

Baca Juga: Catatan Elza Peldi Thaher: Jika Buku Gratis, Buat Apa Menulis?

Alih-alih menghadirkan keadilan dan kebersamaan, rumah itu menjadi arena sunyi penderitaan, di mana setiap perempuan merasa terasing, bersaing, dan terus hidup dalam ketegangan emosional. Poligami dalam praktik seperti ini tak jarang melahirkan cemburu, depresi, bahkan konflik antaranak. Rumah besar, tapi jiwa-jiwa di dalamnya saling jauh.

Gerakan Sunyi yang Melawan

Berbeda dari feminisme di Barat, gerakan perempuan di Saudi tidak terbentuk sebagai organisasi besar yang sah dan legal. Tapi sejak awal 2000-an, terutama melalui internet dan media sosial, lahir gerakan sosial virtual: petisi, kampanye daring, video, hingga aksi simbolik.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Rata, Anjing Kecil yang Setia

Apa yang mereka perjuangkan?

• Penghapusan sistem perwalian laki-laki (wilayah),

• Hak mengemudi (berhasil pada 2018),

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Kok Makin Banyak Orang Penting di Jakarta

• Hak atas perlindungan dari KDRT,

• Kesetaraan dalam hukum keluarga,

• Akses kerja dan pendidikan tanpa diskriminasi.

Baca Juga: Komnas Perempuan: Pembangunan Kerap Menempatkan Perempuan Hadapi Kekerasan Berlapis

Tokoh-tokohnya antara lain:

• Loujain al-Hathloul: aktivis kampanye "Women2Drive" dan penghapusan perwalian, dipenjara 1001 hari.

• Manal al-Sharif: pelopor video menyetir perempuan, kini aktif di luar negeri.

Baca Juga: Dokter Dirga Sakti Rambe: HPV Tak Hanya Serang Perempuan, Lelaki pun Berisiko Terinfeksi

• Samar Badawi: menggugat ayahnya sendiri karena menghalangi kebebasan bergerak.

• Hala al-Dosari: akademisi dan penulis vokal hak-hak perempuan.

Salah satu tokoh penting lainnya adalah Rajaa Alsanea, seorang dokter gigi dan penulis novel berjudul Girls of Riyadh (2005). Buku ini menjadi kontroversi besar di Saudi karena mengangkat kisah nyata kehidupan lima perempuan muda Riyadh yang bergumul dengan cinta, pernikahan, diskriminasi, dan tekanan budaya.

Baca Juga: UN Women: Lebih dari 28.000 Wanita dan Anak Perempuan Tewas di Gaza Sejak Oktober 2023

Disusun dalam bentuk email anonim yang dikirim mingguan, novel ini membongkar kepalsuan dunia elit Saudi dan mempertanyakan moral ganda terhadap perempuan. Meskipun dilarang secara resmi di Saudi saat itu, Girls of Riyadh menjadi bestseller internasional dan membuka ruang diskusi baru tentang perempuan Saudi, baik di dalam maupun di luar negeri.

Jika dibandingkan dengan negara-negara muslim lain, gerakan perempuan di Saudi terlihat sangat tertinggal. Di Indonesia, sejak era 1920-an sudah berdiri organisasi perempuan seperti Aisyiyah (sayap perempuan Muhammadiyah), Fatayat NU, Perempuan Mahardhika, hingga Kalyanamitra, LBH APIK, dan banyak LSM perempuan lainnya yang secara terbuka memperjuangkan:

• Kesetaraan hukum,

Baca Juga: Menbud Fadli Zon Tegaskan Tak Ada Niat Hapus Peristiwa Kongres Perempuan 1928 dalam Sejarah Indonesia

• Akses pendidikan,

• Penolakan kekerasan seksual,

• Perubahan UU perkawinan dan perlindungan anak.

Baca Juga: Arab Saudi Gelar Pasukan Pengamanan Haji di Padang Arafah, Provinsi Makkah

Di Mesir, gerakan feminisme telah hidup sejak masa Huda Shaarawi di awal abad ke-20. Di Iran, meskipun dalam kungkungan rezim teokrasi, perempuan tetap tampil memimpin protes—termasuk dalam gelombang besar Woman, Life, Freedom tahun 2022. Di Tunisia, konstitusi mereka menjamin kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan dalam hukum sipil.

Sementara Saudi, yang secara ekonomi sangat kaya, tertinggal dalam hal kebebasan perempuan. Di negeri ini, perempuan belum bisa secara bebas membentuk organisasi, berdemo, atau mengajukan gugatan hukum sebagai kolektif. Gerakan mereka sunyi, individual, dan sangat rentan ditekan.

Padahal, dalam dunia Islam kontemporer telah muncul banyak pemikir yang menafsirkan ulang ajaran Islam dari perspektif keadilan gender. Tokoh seperti Prof. Dr. Siti Musdah Mulia di Indonesia, Riffat Hassan di Pakistan, dan Amina Wadud di Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa Islam tidak pernah menghalangi kesetaraan perempuan dan laki-laki.

Baca Juga: Pemain Manchester United Bruno Fernandes Tolak Bergabung Klub Saudi Arabia Al Hilal

Mereka mengusulkan tafsir-tafsir baru atas ayat-ayat Al-Qur’an tentang keluarga, warisan, kepemimpinan, dan peran sosial perempuan—bahwa semua itu bersifat kontekstual dan terbuka untuk ditafsirkan ulang secara lebih adil. Sayangnya, pendekatan seperti ini belum mendapat ruang di Saudi, di mana ulama-ulama resmi kerajaan masih mempertahankan tafsir literal yang menguntungkan dominasi laki-laki.

Selain itu, media sosial kini menjadi ruang alternatif bagi perempuan Saudi untuk menyuarakan aspirasi mereka. Banyak dari mereka yang menggunakan akun anonim di Twitter, Instagram, hingga TikTok untuk berbagi pengalaman, mengkritik diskriminasi, dan membangun solidaritas. Dunia digital menjadi “masjid baru” mereka, tempat curhat, belajar, dan membentuk komunitas tanpa harus bertabrakan langsung dengan hukum negara.

Pendidikan pun mengalami paradoks. Saat ini, lebih dari 55 persen mahasiswa perguruan tinggi di Saudi adalah perempuan. Mereka unggul dalam bidang kedokteran, sains, hingga teknologi. Namun setelah lulus, mereka tetap menghadapi tembok pembatas: ruang kerja yang sempit, kesenjangan upah, dan budaya kerja yang diskriminatif. Pendidikan tinggi belum otomatis membuka pintu kebebasan.

Baca Juga: Simone Inzaghi Tinggalkan Inter Milan, Menuju ke Saudi Arabia Melatih Al Hilal: Bergaji Rp557 Miliar

Hak Politik: Maju, Meski Dibatasi

Pada Desember 2015, perempuan Saudi untuk pertama kalinya:

• Boleh memilih dan mencalonkan diri dalam pemilu lokal (municipal councils).

Baca Juga: Hampir Dua Juta Jemaah Muslim Dari Seluruh Dunia Memulai Ibadah Haji di Arab Saudi

• Hasil: 18-20 perempuan terpilih sebagai anggota dewan kota dari berbagai wilayah.

Pada 2013, King Abdullah menetapkan kuota:

• 20 persen anggota Shura Council (Dewan Syura) harus perempuan.

Baca Juga: Simone Inzaghi Diumumkan Jadi Pelatih Klub Saudi Arabia Al Hilal, Bergaji Rp482 Miliar Setahun

• Kini: 30 perempuan dari 151 anggota (19,9 persen).

Tokoh-tokoh perempuan di Shura:

• Hanan Al-Ahmadi: asisten ketua Dewan sejak 2020.

Baca Juga: Arab Saudi Umumkan Keberhasilan Pengiriman Obat dengan Drone di Tempat Suci

• Hayat al-Sindi: ilmuwan bioteknologi.

• Selwa al-Hazzaa: dokter spesialis mata.

Shura Council bersifat konsultatif, bukan legislatif. Tapi peran ini penting sebagai simbol dan saluran awal partisipasi.

Baca Juga: Jemaah Haji Asal Pontianak Kalimantan Barat Tarmizi bin Samad Muhammad Meninggal di Saudi Arabia

Saudi belum memiliki pemilu nasional karena sistemnya adalah monarki absolut. Jabatan politik tinggi masih ditunjuk, bukan dipilih.

Penutup

Perjuangan perempuan Saudi masih panjang dan penuh risiko. Karena Saudi menganut sistem kerajaan mutlak, kekuasaan tetap berada di tangan keluarga kerajaan. Hak-hak yang diberikan bukan hasil perjuangan rakyat, melainkan hadiah dari atas.

Baca Juga: Alhamdulillah, Arab Saudi Batalkan Wacana Pemangkasan 50 Persen Kuota Haji Indonesia

Jika kerajaan menganggap hak itu membahayakan stabilitas, ia bisa dicabut kapan saja. Kebebasan yang dinikmati perempuan Saudi hari ini adalah kebebasan yang diberikan, bukan kebebasan yang dimenangkan.

Kini aku sadar, selama tiga minggu di Saudi aku memang tak bisa benar-benar melihat wajah perempuan Saudi. Mereka tetap ada, tapi tidak tampak. Mereka berjalan di lorong yang berbeda, menggunakan pintu yang berbeda, bekerja di kantor yang berbeda, dan menjalani hidup dalam dunia paralel yang tak disentuh mata pengunjung singkat seperti aku.

Namun yang pasti, angin perubahan telah bertiup. Dan perempuan Saudi, meski perlahan dan diam-diam, sedang belajar untuk menari di tengah badai.

Baca Juga: Qatar dan Saudi Arabia Tuan Rumah Putaran Keempat Kualifikasi Piala Dunia 2025

Di balik dinding beton dan tirai hitam yang rapat, sesungguhnya sedang tumbuh bunga-bunga kecil yang suatu hari bisa mekar di tanah yang selama ini tandus bagi suara perempuan.

Suatu hari, mungkin bukan generasi ini, tapi generasi setelahnya—perempuan Saudi akan berdiri sejajar dengan laki-laki bukan karena diberi izin, tetapi karena mereka memilih jalan itu sendiri.

Mekkah, 14 Juni 2025

Baca Juga: Erick Thohir Hormati AFC Pilih Qatar dan Saudi Arabia Jadi Tuan Rumah Putaran Keempat Kualifikasi Piala Dunia 2025

*Elza Peldi Taher, penulis SATUPENA. ***

Halaman:

Berita Terkait