Esai Haji: Saudi dan Sunyi yang Panjang Bagi Perempuan
- Penulis : Mila Karmila
- Senin, 16 Juni 2025 01:24 WIB

• Diperbolehkan mengemudi (sejak 2018),
• Boleh membuat paspor dan bepergian tanpa izin wali laki-laki,
• Diizinkan membuka rekening, bekerja, bahkan bergabung dalam militer dan kepolisian.
Baca Juga: Elza Peldi Taher: 60 Tahun Denny JA, Catatan Seorang Sahabat
Data resmi menyebutkan bahwa pada 2023, lebih dari 35 persen angkatan kerja Saudi diisi oleh perempuan—lonjakan yang luar biasa dibandingkan dekade sebelumnya. Mereka kini bisa bekerja di bank, kantor pemerintah, media, industri teknologi, dan bahkan di lantai bursa.
Namun meski perubahan terjadi di atas kertas, budaya lama tidak mudah terkikis. Banyak keluarga masih memilih membatasi aktivitas perempuan. Mereka bekerja di ruang privat: kantor perempuan, toko perempuan, rumah sakit khusus perempuan—semua terpisah dari dunia umum. Dan bagi pengunjung asing seperti aku, wajah perempuan Saudi tetap tersembunyi di balik tirai adat dan struktur sosial yang membatasi interaksi bebas.
Antara Rumah Tangga dan Poligami
Baca Juga: Elza Peldi Taher tentang Mahakarya Randai II: Malin Kundang, Durhaka yang Membawa Bencana
Di antara pertanyaan yang paling sering muncul tentang perempuan Saudi, salah satunya adalah: Apakah para lelaki di sini benar-benar memiliki empat istri seperti yang dibayangkan orang?
Secara hukum, memang benar. Fikih Hanbali yang dianut Saudi membolehkan laki-laki menikahi hingga empat istri. Dan karena Saudi adalah negara yang menjadikan syariah sebagai hukum negara, aturan ini sah dan dijalankan. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Data terakhir menyebutkan bahwa hanya sekitar 8–12 persen lelaki Saudi yang menjalani poligami. Mayoritas tetap hidup dalam pernikahan monogami. Alasannya? Bukan semata-mata perubahan nilai, tapi juga alasan praktis: biaya hidup tinggi, kompleksitas relasi keluarga, dan meningkatnya pendidikan serta daya tawar perempuan.
Bahkan, dalam gelombang baru emansipasi, banyak perempuan Saudi kini mengajukan syarat perjanjian pranikah agar suami tidak menikah lagi. Jika suami melanggar, mereka bisa menggugat cerai. Sebuah bentuk resistensi halus terhadap tafsir lama tentang “hak istimewa laki-laki”.