DECEMBER 9, 2022
Kolom

Esai Haji: Saudi dan Sunyi yang Panjang Bagi Perempuan

image
Elza Peldi Taher dan istri Maya di Masjidil Haram (Foto: Koleksi pribadi)

• Penolakan kekerasan seksual,

• Perubahan UU perkawinan dan perlindungan anak.

Di Mesir, gerakan feminisme telah hidup sejak masa Huda Shaarawi di awal abad ke-20. Di Iran, meskipun dalam kungkungan rezim teokrasi, perempuan tetap tampil memimpin protes—termasuk dalam gelombang besar Woman, Life, Freedom tahun 2022. Di Tunisia, konstitusi mereka menjamin kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan dalam hukum sipil.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: 60 Tahun Denny JA, Catatan Seorang Sahabat

Sementara Saudi, yang secara ekonomi sangat kaya, tertinggal dalam hal kebebasan perempuan. Di negeri ini, perempuan belum bisa secara bebas membentuk organisasi, berdemo, atau mengajukan gugatan hukum sebagai kolektif. Gerakan mereka sunyi, individual, dan sangat rentan ditekan.

Padahal, dalam dunia Islam kontemporer telah muncul banyak pemikir yang menafsirkan ulang ajaran Islam dari perspektif keadilan gender. Tokoh seperti Prof. Dr. Siti Musdah Mulia di Indonesia, Riffat Hassan di Pakistan, dan Amina Wadud di Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa Islam tidak pernah menghalangi kesetaraan perempuan dan laki-laki.

Mereka mengusulkan tafsir-tafsir baru atas ayat-ayat Al-Qur’an tentang keluarga, warisan, kepemimpinan, dan peran sosial perempuan—bahwa semua itu bersifat kontekstual dan terbuka untuk ditafsirkan ulang secara lebih adil. Sayangnya, pendekatan seperti ini belum mendapat ruang di Saudi, di mana ulama-ulama resmi kerajaan masih mempertahankan tafsir literal yang menguntungkan dominasi laki-laki.

Baca Juga: Elza Peldi Taher tentang Mahakarya Randai II: Malin Kundang, Durhaka yang Membawa Bencana

Selain itu, media sosial kini menjadi ruang alternatif bagi perempuan Saudi untuk menyuarakan aspirasi mereka. Banyak dari mereka yang menggunakan akun anonim di Twitter, Instagram, hingga TikTok untuk berbagi pengalaman, mengkritik diskriminasi, dan membangun solidaritas. Dunia digital menjadi “masjid baru” mereka, tempat curhat, belajar, dan membentuk komunitas tanpa harus bertabrakan langsung dengan hukum negara.

Pendidikan pun mengalami paradoks. Saat ini, lebih dari 55 persen mahasiswa perguruan tinggi di Saudi adalah perempuan. Mereka unggul dalam bidang kedokteran, sains, hingga teknologi. Namun setelah lulus, mereka tetap menghadapi tembok pembatas: ruang kerja yang sempit, kesenjangan upah, dan budaya kerja yang diskriminatif. Pendidikan tinggi belum otomatis membuka pintu kebebasan.

Hak Politik: Maju, Meski Dibatasi

Baca Juga: Inilah Kesaksian Elza Peldi Taher tentang Perjalanan Sukses Denny JA yang Berulang Tahun ke-61, 4 Januari 2024

Pada Desember 2015, perempuan Saudi untuk pertama kalinya:

Halaman:

Berita Terkait