Elza Peldi Taher: Kok Makin Banyak Orang Penting di Jakarta
- Kamis, 23 Januari 2025 11:18 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Siang hari saya melewati jalan Sudirman-Thamrin dalam perjalanan menuju Gambir. Sudah lama saya tidak melintasi kawasan yang menjadi pusat aktivitas para elite dan kelas menengah ini. Saya pun sudah menyiapkan mental untuk menghadapi kemacetan. Namun, yang membuat saya heran adalah jumlah mobil penting yang melintas di sini tampak jauh lebih banyak dari biasanya. Bukankah ibu kota sudah pindah?
Hampir tiap saat mobil mobil mewah berharga milyaran rupiah dengan sirine mengaung dan pengawal yang luar biasa bringasnya, lewat mengusir mobil dan motor yang sedang bertarung dengan kemacetan. Di balik kaca mobil-mobil mewah, suara sirene memecah kebisingan seperti genderang perang, menandakan rombongan pejabat penting akan melintas. Tiap kali sirene itu terdengar, pengendara—baik mobil maupun motor—bergegas minggir, memberi jalan seolah-olah jalan raya ini hanya milik mereka.
Saya heran. Mengapa orang orang penting ini masih bertahan di Jakarta? Bukankah ibu kota negara telah resmi berpindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) sejak Februari 2024? Tidakkah mereka seharusnya mengemasi segala hiruk-pikuk kekuasaan dan membawanya ke sana? Bukankah pindah ke IKN menjadi jualan mereka ketika membujuk rakyat dalam pemilihan yang lalu?
Baca Juga: Elza Peldi Taher: Denny JA, Penulis Lari Cepat 100 Meter
Saya senang IKN pindah. Alasannya sederhana saja: agar jalanan Jakarta terbebas dari nyanyian sirene yang menyayat ketenangan. Sirene itu selalu mengingatkan saya pada sebuah kenyataan pahit, bahwa ada sekelompok orang yang merasa memiliki hak istimewa atas jalanan ini. Sementara warga biasa terjebak dalam lingkaran kemacetan yang seolah tak berujung, mereka melaju dengan gagah, memecah barisan kendaraan tanpa peduli.
Jika para pejabat itu benar-benar pindah, warga Jakarta kembali menikmati kotanya—Jakarta yang sepi dari kebisingan sirene, Jakarta yang berjalan dalam ritmenya sendiri. Tak masalah macet di Jakarta, asalkan tidak ada diskriminasi. Semua orang merasakan kemacetan yang sama, tanpa ada yang diistimewakan—kecuali, tentu saja, mobil ambulans.
Dengan segala kemacetan yang amat menyiksa, bagi saya jakarta memiliki pesona yang luar biasa. Gedung-gedung tua yang bercerita tentang masa lalu, gang-gang sempit yang menyimpan kehidupan, hingga orang-orang yang terus bergerak meski dalam tekanan. Jakarta bukan sekadar tempat tinggal; ia adalah cermin perjuangan. Sudah tiba saatnya warga Jakarta merajut kembali kehidupan mereka tanpa terganggu oleh suara yang membuat jalanan terasa seperti milik segelintir orang. Biarkan kota ini bernapas lebih lega, tanpa bayang-bayang kuasa yang melintas dengan kecepatan tak wajar.
Baca Juga: Elza Peldi Taher: Esoterika, Melanjutkan Gagasan Djohan Effendi
Jakarta layak untuk hidup tanpa deru sirene yang memekakkan telinga. Ia layak untuk menjadi kota yang lebih manusiawi, di mana semua orang memiliki hak yang sama atas jalanan, tanpa ada yang merasa lebih berhak dari yang lain. Semoga mimpi ini bukan sekadar angan-angan, melainkan kenyataan yang akan segera terwujud.
Jakarta 23 Januari 2025 ***