Elza Peldi Taher: Keadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Rabu, 24 April 2024 17:42 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Membaca putusan Mahkamah Konstitusi dan aneka ragam sikap terhadap Keputusan MK, kitapun sadar betapa nilai agung seperti konsep keadilan itu relatif.
Tiap orang memberi makna terhadap keadilan sesuai dengan pemahaman, ideologi dan kepentingan masing masing. Adil menurut seseorang, belum tentu adil menurut yang lain. Adil menurut yang satu, boleh jadi zalim bagi yang lain.
Begitulah, setelah MK mengeluarkan putusannya, jutaan orang memuja sikap lima hakim yang menolak gugatan dan jutaan orang lain memuji tiga hakim yang memberikan dissenting opinion terhadap putusan. Tiap orang memuji putusan yang sesuai aspirasinya dan mengkritik putusan yang tak sesuai aspirasi.
Hal ini membuktikan konsep keadilan itu relatif. Karena itu mau tak mau kita memang harus move on dari realitas politik pasca Keputusan MK, meneriman keputusan MK sebagai realitas politik sambil terus bersikap kritis terhadap pemerintahan mendatang.
Setelah putusan MK yang disusul sikap resmi KPU yang menyatakan Prabowo sah jadi pemenang pilpres, maka Prabowo akan jadi presiden Oktober mendatang. Keduanya memenuhi syarat memenuhi konsep keadilan prosedural menurut Plato, karena telah memenuhi proses menjadi pemimpin seperti yang ditetapkan KPU hari ini.
Jadi tak ada pilihan lain, kita harus move on dari Pilpres, menerima ini sebagai realitas politik sambil tetap bersikap kritis pada pemerintahan mendatang.
Buat saya pribadi, Prabowo, dan apa lagi Gibran, bukanlah tipe ideal pemimpin Indonesia. Kualitas moral, etika dan integritas keduanya bagaikan bumi dan langit jika dibandingkan dengan Sukarno-Hatta.
Prabowo jelas terlibat pelanggaran HAM dimasa lalu. Tangannya berdarah darah. Gibran naik hanya karena mengandalkan nama bapaknya. Melihat pernyataan pernyataannya, ia masih jauh dari syarat untuk menjadi orang kedua di negara yang besar ini.
Karena itu saya tak memelihara optimisme bahwa keduanya akan memimpin Indonesia lebih maju, meski juga tak menutup harapan sama sekali. Sejarah mengajarkan kepada kita, beberapa pemimpin yang punya rekam jejak buruk, sukses ketika diberi kesempatan.
Baca Juga: Bambang Widjojanto: Tiga Hakim Mahkamah Konstitusi Menulis Sejarah Peradaban Demokrasi Indonesia
Adalah Roh Tae Woo, pemimpin militer Korea yang dikenal kejam. Tiba tiba, ketika dapat amanat jadi presiden ia membuka keran demokratisasi Korea dengan mengadakan pilpres langsung dan membiarkan semua orang termasuk oposisi maju jadi pemimpin. Sesuatu yang haram pada waktu itu.
Roh kemudian diluar dugaan menang dalam Pilpres mengalahkan dua pemimpin oposisi legendaris yang amat populer, Kim Young Sam dan Kim Dae Yung. Roh dianggap berhasil memimpin dengan baik, membangkitkan ekonomi Korea dan menurunkan tingkat korupsi di elite politik
Jenderal Fidel Ramos adalah pemimpin militer Filipina di Era Marcos. Tangan kanan Marcos ini dikenal kejam dan terlibat banyak pembunuhan. Secara tiba-tiba ia kemudian menyeberang ke pihak oposisi dan jadi pelindung utama Cory Aquino yang naik lewat pemilihan presiden.
Setelah Cory turun, Ramos kemudian maju dan terpilih jadi presiden Filipina. Ia memimpin Filipina menuju proses demokratiasi dan kebangkitan ekonomi. Baik Roh maupun Ramos melakukan transformasi ke dalam diri dan mendarmakan sisa hidup buat bangsanya.
Belajar dari Ramos dan Roh, tak ada alasan untuk skpetis dan pesimis pada Prabowo. Tapi, apakah ada alasan untuk optimis?
Apakah Prabowo akan melakukan transformasi diri membangun bangsanya dengan baik, membebaskan bangsa ini dari nepotisme, korupsi dan penyalahgunaan jabatan yang kini mewabah sehingga negara diambang keterpurukan? Jawabannya adalah, Wallahualam bisshawab.
Pondok Cabe 24 April 2024
*Elza Peldi Taher, penulis Satupena. ***