DECEMBER 9, 2022
Puisi

Cerpen Rusmin Sopian: Aku Manusia Enam Setengah Tahun 

image
Ilustrasi Aku Manusia Enam Setengah Tahun (Foto: Satrio)

ORBITINDONESIA.COM - Aku tertawa terbahak-bahak saat palu dari orang yang mulia terdengar tiga kali. Menutup persidangan.

Gelak tawa ku meriuhkan ruang persidangan. Tawa kegembiraanku menghentak semesta. Mengagetkan gendang telinga pengunjung ruangan yang istimewa itu.

Seketika, orang-orang yang  berada dalam ruangan menatap ke arahku. Wajah mereka menggambarkan rasa geram. 
Bahkan kebencian menghiasi wajah mereka.

Baca Juga: Rusmin Sopian: Buku dari Bangka Selatan untuk Nusantara

Aku terus tertawa tanpa henti. Tawa penuh kebahagiaan. Dan tanpa terasa sesuatu mengalir dari rongga celanaku. Menggenangi ruangan. Membasahi ubin ruang persidangan. Membasahi sepatu mereka yang berada dalam ruangan persidangan itu. Membasahi kaki mereka.

"Dasar orang gila," teriak seorang yang berada dalam ruangan persidangan..
"Orang tidak berperikemanusiaan," sambung yang lain.
"Mestinya hukuman mati pantas diberikan kepada dia," umpat seorang pengunjung lainnya dengan wajah penuh kebencian.

Kembali, para pengunjung persidangan memandangku dengan wajah sinis. Wajah mereka sangat marah. Benci tergambar sangat jelas menghiasi wajah mereka.

Baca Juga: Rusmin Sopian: Kebangkitan Kebermajuan

Narasi kekecewaan mereka menghantam gendang telingaku. Menghajar ulu hatiku. Menembus jiwaku secara beramai-ramai. Semua itu tak mampu menahan laju tawaku.

Aku segera diamankan petugas keamanan dengan cepat. Mereka melindungiku dari wajah-wajah kebencian. Mengamankanku dari orang-orang yang berwajah menebar kesedihan hidup.

Dalam sekejap, aku sudah berada dalam mobil tahanan. Dan, dalam hitungan detik, sopir mobil tahanan langsung tancap gas. Meninggalkan kantor persidangan yang masih riuh dengan ocehan para warga. Umpatan mereka kepadaku berhamburan ke udara bebas. Menghiasi langit. 

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Matkuteng, Penjagal dari Kampung Selatan 

Hari itu, di saat cahaya matahari di atas kepala, aku divonis enam setengah tahun untuk perbuatan yang dituduhkan kepadaku. Hanya enam setengah tahun.

Vonis yang diberikan kepada ku menimbulkan rasa ketidak perikemanusiaan. Demikian suara yang berkibar di semesta raya. 

"Pasti ada yang tidak beres dengan vonis itu," ujar seorang tokoh masyarakat.
"Vonis yang mengandung unsur ketidakadilan," teriak seorang aktivis antikorupsi.
"Keadilan sudah runtuh di negeri ini," ucap seorang aktivis lainnya.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Ada Cerita Palsu dari Mulut Palsu Penutur Palsu

Aku mereka tuduh melakukan perusakan alam semesta. Menganiaya lingkungan. Para pakar menghitung kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan ku mencapai ratusan triliun. Wow. Amboi.

Aku adalah seorang dermawan. Tak ada orang yang ada di semesta ini yang tidak menerima kucuran dana dari kantongku. 

Aku dijuluki Sultan oleh publik. Di dewakan sebagai orang paling dermawan di alam semesta ini. Dirindukan oleh semua pihak. Ya, mereka merindukan uangku. Cuanku. Tidak lebih dan tidak kurang. Hanya itu.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Kisah dari Koran Bekas 

Saat ada virus, ratusan miliar kugelontorkan untuk membantu penanggulangan penyakit menular itu.

Demikian pula saat ada warga yang butuh pertolongan, ratusan juta kukeluarkan dari rekeningku yang jumlahnya bejibun itu. Tersebar di berbagai bank. Dalam ratusan kartu tarik tunai. 

Tak heran kadang, istriku bengong melihat kelakuanku. Begitu gampang mengeluarkan uang. Uang seolah-olah menjadi barang murah meriah bag ku.

Baca Juga: Rusmin Sopian: Amanah Publik untuk Kesejahteraan Publik

"Sudah. Tidak usah dipikirin. Yang penting kita aman," jawabku menenangkan istriku.
"Kita harus berlakon baik. Dermawan kepada warga biar publik menganggap kita orang baik," lanjutku menenangkan istriku.

Istriku masih belum menerima jawaban ku. Masih menghantui pikirannya. 
"Kalau hukum tahu, bagaimana?" tanyanya.
"Sudah. Itu urusanku. Semua urusan akan mudah kalau beginian lancar," sahutku sambil menggesekkan jari telunjukku dengan jempol.

Aku tidak pernah menyangka. Penangkapan para pengusaha biji hitam di sebuah pulau yang jauh dari Ibukota, menyeretku ke dalam kehidupan baru yang amat menyesatkan jiwaku. Mengguncang kehidupanku dan keluarga besar ku.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Robohnya Rumah Pejuang

Para pengusaha biji hitam di sebuah pulau itu kulindungi dengan segala atribusi yang kumiliki dalam lingkaran kekuasaan. Maklumlah, aku selalu berada di ketiak para penguasa. Terkadang, aku menyebut nama mereka untuk meningkatkan daya kekuatan ku.

Kini, para pengusaha itu menyeretku dalam kubangan lumpur berbau. Aku sama sekali tidak pernah menyangka. Sama sekali tidak pernah menyangka. 

Kekuatanku roboh. Tenaga hebat di sekitarku tumbang. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan. Bahkan terpikir pun tak pernah terlintas dalam otak cerdasku.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Perempuan Kiriman Tuhan 

"Masa dengan kekuatan yang hebat itu bisa tumbang?" tanyaku lewat handphone berharga satu rumah warga di pulau.
"Demikianlah Pakbos. Arus mulai berubah. Gelombang perubahan telah terjadi. Iklim berubah," jelas seseorang lewat handphone yang kuhadiahkan.

Kini semua orang memandangku dengan sinis. Bahkan wajah mereka berhiaskan kemarahan yang amat luarbiasa. Seolah-olah ingin mencincangku beramai-ramai. Bahkan ingin menyeretku dari ujung pulau ke ujung lain pulau.

Istriku ikut dalam pusaran kasus ku. Demikian pula dengan keluarga besar ku. Mereka mulai dijauhi warga. Bahkan dimusuhi publik.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Karma

Tiap hari wajahku muncul di media massa. Hujatan mereka arahkan kepadaku. Cemoohan mereka lemparkan kepada diriku.

Seluruh semesta membenciku. Hanya orang-orang yang hidup di ketiakku yang masih memujaku. Bahkan membelaku.
"Tenang. Kami akan membela Bapak hingga tetesan darah terakhir," ucap mereka.
"Kita akan buktikan bahwa Bapak tidak bersalah," ujar mereka.
"Tidak bersalah?" tanyaku setengah keheranan.
"Iya. Itu tugas kami," sahut mereka.
"Serahkan kepada kami," sambung mereka.

Aku terdiam. Menatap mereka. Wajah-wajah yang bermuka duit. Di wajah mereka kulihat duit. Ya, duit menghiasi sekujur tubuh mereka. 

Baca Juga: Puisi Esai dan Panggilan Cinta

Kepala mereka berambut duit. Wajah mereka dari duit. Hidung mereka bergambar duit. Mulut mereka berlidah duit. Semuanya kulihat duit. Dari rambut hingga kaki mereka. Semuanya terbuat dari duit.

Dari dalam mobil tahanan yang akan membawaku ke rumah tahanan, kulihat orang-orang di jalanan memetik air mata  yang jatuh di aspal. Dilindas mobil-mobil mewah yang berseliweran. 

Mobil-mobil mewah yang terbuat dari tulang belulang warga terus menerus menginjak air mata warga yang bercucuran di jalanan. Melindas air mata mereka yang berceceran di jalanan dengan mata yang terbuka lebar.

Baca Juga: Duta Puisi Esai Nasional dari Jawa Tengah Habibaturrohmah Kunjungi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Blora

Tiba-tiba, di kejauhan, mataku melihat orang-orang memungut air mata mereka yang berceceran di jalanan yang berlubang. Penuh lumpur. Dipenuhi tikus-tikus got. 

Mereka memungut air mata mereka dengan mata hati. Dengan ketulusan jiwa yang mengaliri sekujur tubuh mereka.

Di sebuah pulau, orang-orang memetik air mata mereka yang tumpah di selokan. Air mata yang menjadi korban dari keganasan ku mengekploitasi hidup dan kehidupan mereka.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Anak Palestina Itu Menulis Surat untuk Ibunya yang Hilang

Mengeksploitasi sumber alam mereka. Mengekploitasi kehidupan mereka yang mestinya membahagiakan mereka. 

Dan aku cuma di vonis enam setengah tahun. Ya, enam setengah tahun. Tidak lebih dan tidak kurang.

Dan aku tertawa terbahak-bahak mendengar putusan itu.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Dan Lahirlah Budi Utomo

Toboali, Januari 2025

*Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kabupaten Bangka Selatan. Ia dikenal pula sebagai pegiat literasi Toboali Bangka Selatan dan penulis beberapa buku. Cerpennya termuat di berbagai media lokal dan luar Bangka Belitung. Saat ini tinggal di Kampung Aik Aceng Kota Toboali bersama Istri dan dua putrinya yang cantik.***

Halaman:

Berita Terkait