DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Artificial Intelligence tak Membunuh Penulis, tapi Mengubahnya

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM - Di sudut Jalan Buah Batu, Bandung, berdiri sebuah toko buku yang menjadi saksi bisu perjalanan literasi kota itu.

Togamas Buah Batu bukan sekadar tempat berjualan buku. Ia rumah bagi para pelajar pencari buku ujian, orang tua yang membelikan dongeng, dan penulis yang ingin melihat bukunya berpindah dari rak ke tangan pembaca.

Dengan etalase sederhana dan diskon yang menggoda, Togamas menemani generasi pembaca selama puluhan tahun. Namun, pada April 2024, pintu itu tertutup untuk selamanya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Tafsir yang Berbeda tentang Kurban Hewan di Era Animal Rights

Mereka berpamitan di Instagram:

“Kami dari segenap keluarga besar Togamas Buah Batu izin pamit. Terima kasih kepada seluruh pelanggan setia yang telah mempercayai kami sebagai toko buku kesayangan kalian.” (1)

Bukan hanya Togamas. Toko Buku Gunung Agung—ikon retail literasi Indonesia sejak 1953—juga resmi menutup seluruh gerainya pada akhir 2023, tak kuasa menahan beban kerugian.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai

Di balik pintu-pintu toko yang tertutup, ada kehilangan yang lebih besar: hilangnya ruang ketiga—tempat jiwa-jiwa berkumpul, berdiskusi, mencari inspirasi, dan menyembuhkan luka lewat kata.

-000-

Kematian toko buku adalah gejala dari luka yang lebih dalam: bangkrutnya ekosistem literasi.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Elon Musk Akhirnya Meninggalkan Donald Trump

Survei Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) 2024 mencatat: 80% penulis hanya menerima royalti kurang dari Rp 2 juta per tahun. Sebagian bahkan tak sampai Rp 500 ribu.

Halaman:

Berita Terkait