Esai Haji: Di Balik Lantai Bersih Tanah Suci
- Penulis : Mila Karmila
- Selasa, 03 Juni 2025 01:32 WIB

Oleh Elza Peldi Taher*
ORBITINDONESIA.COM - Keluar dari kamar hotel pagi itu, aku tertegun.
Di kursi dekat lift, seorang lelaki muda terlelap. Bajunya kusut, wajahnya legam terbakar matahari. Tak ada nama di dadanya, tak ada seragam rapi tanda pegawai hotel. Hanya pakaian lusuh dan tubuh ringkih yang memeluk lelah. Barangkali ia dari Bangladesh. Sudah lebih dari dua minggu aku melihatnya di sini, tanpa satu patah kata pun.
Baca Juga: Elza Peldi Taher tentang Mahakarya Randai II: Malin Kundang, Durhaka yang Membawa Bencana
Setiap hari ia hadir: mengisi galon air, membersihkan lantai hotel, mendorong troli kecil berisi alat pel, bekerja dari pagi hingga malam. Tak kenal libur, tak kenal henti. Kami hanya bisa bertegur dengan isyarat; ia tak mengerti bahasa Arab, apalagi Inggris.
Suatu hari, dengan gerakan tangan, aku meminta kamar kami dibersihkan. Ia tersenyum, wajahnya berbinar seperti anak kecil mendapat mainan baru. Dengan semangat ia membersihkan kamar, menyapu, mengepel, mengelap meja. Teman sekamarku melihat itu lalu ikut meminta bantuannya. Lelaki itu semakin bersemangat.
Kami memang tak bisa berkomunikasi lewat kata, tapi rasa adalah bahasa universal. Sejak hari itu, setiap kali bertemu di lorong, ia melemparkan senyum kecil. Senyum yang, entah bagaimana, terasa hangat.
Di Masjidil Haram, pemandangan serupa terhampar. Para pekerja migran itu tersebar di setiap sudut: membersihkan lantai marmer yang diduduki jutaan kaki, menyemprotkan wewangian ke karpet-karpet sujud, membawa troli besar berisi air zamzam. Ada yang berwajah India, ada yang Afrika, ada pula yang dari Bangladesh.
Kali ini mereka mengenakan seragam resmi. Tapi bila diperhatikan, pakaian itu lusuh, sepatu mereka usang, beberapa bahkan terlihat bolong. Langkah mereka gontai, kerja mereka lambat, ekspresi wajah mereka nyaris tanpa nyawa. Betapa ironis: di rumah Allah yang agung ini, di hadapan Ka'bah yang mulia, ada manusia yang bekerja dalam sunyi, dalam ketidaklayakan.
Aku termenung. Bukankah Islam mengajarkan, "Berikan upah pekerja sebelum keringatnya kering"? Bukankah Nabi bersabda, "Sesungguhnya saudaramu adalah pekerjamu"? Lantas, bagaimana bisa di tempat tersuci ini, yang dipenuhi doa dan harapan, para pekerja menjadi bayang-bayang yang luput dari perhatian?
Baca Juga: Elza Peldi Taher: Keadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Di balik lantai bersih Tanah Suci, ada peluh yang membasahi bumi. Di balik wangi ruangan, ada lelah yang tak terucap. Mereka, para penjaga kesucian, kerap tak terlihat, kerap tak dianggap.