Melampaui Produk Domestik Bruto, Mencari Indikator Kesejahteraan Sejati
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Senin, 02 Juni 2025 08:15 WIB
.jpeg)
Oleh Dr Aswin Rivai SE MM*
ORBITINDONESIA.COM - Selama beberapa dekade, Produk Domestik Bruto (PDB) telah menjadi indikator utama untuk menilai keberhasilan ekonomi sebuah negara.
Di Indonesia, pertumbuhan PDB rutin diumumkan setiap triwulan, menjadi tolok ukur utama yang mempengaruhi persepsi publik dan arah kebijakan pemerintah. Namun, di balik angka-angka tersebut, semakin banyak ekonom yang mempertanyakan, apakah PDB benar-benar mencerminkan kesejahteraan masyarakat.
Baca Juga: Taufan Hunneman: Aktualisasi Ekonomi Pancasila dan Kesejahteraan Rakyat
PDB Indonesia pada tahun 2024 mencapai Rp22.139 triliun atau sekitar 1,54 triliun dolar AS, menjadikannya ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan peringkat ke-16 di dunia berdasarkan nominal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun itu tercatat sebesar 5,03 persen, relatif stabil di tengah ketidakpastian global. Namun, angka tersebut menutupi berbagai kerentanan struktural, seperti ketimpangan pendapatan, kerusakan lingkungan, dan kualitas pekerjaan yang belum merata.
Seperti yang diamati oleh ekonom Amartya Sen, setiap bentuk deskripsi termasuk dalam ekonomi adalah hasil dari pilihan yang kita buat: Apa yang kita tampilkan, dan apa yang kita sembunyikan. Dengan hanya menyoroti pertumbuhan PDB, kita bisa saja mengabaikan dimensi penting lain dari kesejahteraan, seperti kualitas pendidikan, akses kesehatan, partisipasi politik, serta kelestarian lingkungan.
Ada tiga masalah fundamental terkait PDB. Pertama, mengaburkan ketimpangan. Salah satu kritik utama terhadap PDB adalah ketidakmampuannya menangkap distribusi pendapatan.
Di Indonesia, Gini ratio yang merupakan indikator ketimpangan masih tinggi, yakni 0,381 pada 2024, yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum dinikmati secara merata. Di tengah pertumbuhan PDB yang stabil, jumlah orang miskin masih mencapai 8,57 persen dari total penduduk atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Seperti dikemukakan Joseph Stiglitz dalam Freefall (2010), pertumbuhan PDB yang tinggi bisa saja terjadi bersamaan dengan meningkatnya ketimpangan. PDB per kapita Indonesia tahun 2023 sebesar 4,960 dolar AS atau Rp78,6 juta per tahun atau Rp6,55 juta per bulan mungkin menunjukkan kemajuan, tetapi tidak berarti sebagian besar rakyat menikmati kualitas hidup yang layak. Dalam kenyataannya, akses terhadap layanan dasar seperti air bersih, sanitasi, dan pendidikan masih belum merata.
Masalah kedua adalah PDB memperkuat ketimpangan kekuasaan dalam demokrasi. PDB cenderung mengabaikan bagaimana kekayaan dan kekuasaan terkonsentrasi.
Baca Juga: Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad Minta DPD Tetap Fokus Memajukan Kesejahteraan Daerah
Di Indonesia, laporan World Inequality Database menunjukkan bahwa 1 persen penduduk terkaya menguasai lebih dari 30 persen total kekayaan nasional. Konsentrasi ekonomi ini berdampak langsung pada kekuatan politik dan media. Oligarki yang kuat dapat mempengaruhi kebijakan publik melalui kampanye, lobi politik, hingga pembentukan opini di ruang digital.