Melampaui Produk Domestik Bruto, Mencari Indikator Kesejahteraan Sejati
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Senin, 02 Juni 2025 08:15 WIB
.jpeg)
IPM dikembangkan UNDP dan mengukur tiga aspek utama yaitu kesehatan (harapan hidup), pendidikan (lama sekolah), dan standar hidup (PDB per kapita dalam PPP). Indeks ini lebih manusiawi karena fokus pada kapabilitas dasar manusia, bukan sekadar output ekonomi.
Indonesia mencatat IPM sebesar 75,02 pada 2025, naik dari tahun-tahun sebelumnya, namun disparitas regionalnya tinggi. DKI Jakarta mendekati angka 85, sedangkan Papua dan NTT masih di bawah 65. Menggunakan IPM sebagai panduan kebijakan mendorong pembangunan yang lebih merata antarwilayah.
GPI mengoreksi PDB dengan menambahkan nilai kerja rumah tangga dan relawan, serta mengurangkan biaya sosial seperti kejahatan, polusi, stres kerja, dan kerusakan lingkungan.
Baca Juga: Taufan Hunneman: Aktualisasi Ekonomi Pancasila dan Kesejahteraan Rakyat
Jika Indonesia menghitung GPI, pertumbuhan dari sektor pertambangan dan sawit kemungkinan akan tereduksi karena tingginya biaya sosial dan ekologis. Ini dapat mendorong pengambilan kebijakan yang lebih hati-hati, berkelanjutan, dan berpihak pada kesejahteraan jangka panjang.
Alternatif lain adalah konsep PDB Hijau yang menghitung kembali PDB dengan memperhitungkan degradasi sumber daya alam dan biaya polusi. Indonesia, sebagai negara megabiodiversitas, sangat diuntungkan dengan pendekatan ini. Contohnya, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) harus dinilai bukan hanya dari sisi nilai tambah ekonominya, tapi juga dari dampak ekologis terhadap hutan Kalimantan. Sayangnya, tantangan teknis dalam valuasi sumber daya alam masih menjadi kendala utama penerapan Green GDP secara penuh.
Kemudian, GNH yang dikembangkan oleh Bhutan memasukkan faktor psikologis, budaya, lingkungan, dan tata kelola yang baik sebagai pilar kesejahteraan. Meskipun indikator ini bersifat subjektif, ia mengingatkan kita bahwa kebahagiaan dan makna hidup adalah tujuan akhir dari pembangunan. Bagi Indonesia yang kaya akan nilai gotong-royong, spiritualitas, dan keragaman budaya, pendekatan GNH bisa diadaptasi untuk mengukur harmoni sosial, kepuasan hidup, dan keseimbangan kerja–keluarga.
Indeks Kemakmuran Bersama (Shared Prosperity Index – SPI) dikembangkan oleh Bank Dunia, mengukur pertumbuhan pendapatan 40 persen penduduk terbawah. Indikator ini sangat relevan untuk negara dengan tingkat ketimpangan tinggi seperti Indonesia, di mana rasio Gini masih bertahan di kisaran 0,38–0,39 dalam satu dekade terakhir.
SPI dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas program bansos, subsidi energi, atau Kredit Usaha Rakyat (KUR). Bila pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi SPI stagnan, itu tanda distribusi belum berjalan baik.
Alternati berikutnya adalah Indeks Kemajuan Sosial (Social Progress Index - SPI). Indeks ini menilai pencapaian dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, pendidikan, kesehatan, dan kebebasan sosial, tanpa menggunakan indikator ekonomi. Indonesia dapat menggunakan SPI untuk menilai seberapa jauh pembangunan menjangkau kelompok marginal seperti masyarakat adat, penyandang disabilitas, atau penduduk di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Baca Juga: Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad Minta DPD Tetap Fokus Memajukan Kesejahteraan Daerah
Dashboard kesejahteraan nasional