DECEMBER 9, 2022
Kolom

Melampaui Produk Domestik Bruto, Mencari Indikator Kesejahteraan Sejati

image
Ilustrasi- Bank Indonesia dan PDB (Foto: Kemenko Ekonomi)

Fenomena ini membahayakan demokrasi. Seperti dikatakan Hakim Agung AS Louis Brandeis, “Kita bisa memiliki demokrasi atau kekayaan besar yang terkonsentrasi, tetapi tidak keduanya.” Ketika pertumbuhan ekonomi hanya memperkaya segelintir elite, maka kepercayaan terhadap institusi politik menurun, dan partisipasi publik melemah.

Ketiga, mengorbankan keberlanjutan lingkungan. PDB tidak membedakan antara aktivitas ekonomi yang berkelanjutan dan yang merusak lingkungan. Misalnya, eksploitasi sumber daya alam seperti deforestasi, tambang batubara, dan perkebunan sawit memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB Indonesia, tetapi juga mempercepat krisis iklim.

Indonesia adalah negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar ke-9. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintah memang menargetkan pembangunan rendah karbon. Namun, selama keberhasilan masih diukur dengan pertumbuhan PDB, tekanan terhadap lingkungan tetap tinggi. Kita bisa membangun sekaligus menghancurkan masa depan dalam waktu bersamaan.

Baca Juga: Taufan Hunneman: Aktualisasi Ekonomi Pancasila dan Kesejahteraan Rakyat

PDB diperkenalkan oleh Simon Kuznets pada 1930-an untuk mengukur output ekonomi Amerika Serikat. Meskipun alat ini bermanfaat untuk mengatasi depresi ekonomi kala itu, bahkan Kuznets memperingatkan bahwa PDB bukan ukuran kesejahteraan. Dalam presentasinya di Kongres AS tahun 1934, ia menyatakan, “Kesejahteraan suatu bangsa tidak dapat disimpulkan dari angka pendapatan nasional.”

Ekonom lingkungan seperti Herman Daly menekankan pentingnya steady-state economy yaitu ekonomi yang menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan. Dalam pandangan ini, ukuran seperti PDB tidak cukup. Kita membutuhkan indikator yang mencerminkan kesejahteraan ekologis, sosial, dan manusia.

PDB tak lagi cukup?

Baca Juga: Ketua DPR RI Puan Maharani Berharap RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak Bermanfaat Demi Indonesia Emas 2045

PDB hanya menghitung nilai barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu negara dalam jangka waktu tertentu. Tetapi ia tidak membedakan apakah nilai tersebut dihasilkan dari pembangunan sekolah atau dari polusi industri. PDB juga tidak memperhitungkan bagaimana kekayaan itu dibagi, apakah hanya dinikmati oleh segelintir elite atau menjangkau seluruh masyarakat.

Di Indonesia, PDB per kapita memang terus meningkat. Namun, angka itu menyamarkan fakta bahwa sebagian besar pertumbuhan ekonomi terkonsentrasi di Pulau Jawa dan dinikmati oleh kalangan menengah atas. Sementara itu, Papua, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian wilayah Kalimantan dan Sulawesi masih bergelut dengan kemiskinan struktural, infrastruktur minim, dan akses pendidikan yang terbatas.

Dalam konteks ini, PDB lebih menggambarkan jumlah uang yang beredar, bukan kualitas hidup rakyat.

Baca Juga: Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad Minta DPD Tetap Fokus Memajukan Kesejahteraan Daerah

Beberapa negara dan institusi global telah mengembangkan indikator-indikator alternatif untuk melengkapi atau bahkan menggantikan PDB. Beberapa di antaranya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Genuine Progress Indicator (GPI), Green GDPGross National Happiness (GNH), Indeks Kemakmuran Bersama (Shared Prosperity Index – SPI), dan Indeks Kemajuan Sosial (Social Progress Index – SPI).

Halaman:

Berita Terkait