Catatan Denny JA: Derita Rakyat Akibat Rusaknya Lingkungan Hidup di Dalam Puisi Esai
- Senin, 13 Januari 2025 16:55 WIB
Pengantar Buku Puisi Esai Isbedy Stiawan Z. S.: Elegi Galian Tambang
ORBITINDONESIA.COM - “Tanah ini bernapas berat,
luka-lukanya terbuka oleh cakar baja,
darahnya mengalir ke kantong-kantong asing.
Apa yang tersisa?
Hanya tangis ibu kami,
terbungkus dalam debu yang kami hirup.”
Bait ini adalah jeritan dari Pablo Neruda dalam puisi “The Cry of the Earth,” bagian dari kumpulan karya monumentalnya, Canto General (1950).
Bait puisi ini teringat ketika membaca kumpulan 10 puisi esai Isbedy Stiawan dengan tema sama, berjudul Elegi Galian Tambang.
Neruda, seorang penyair besar dari Amerika Latin, menulis dengan kekuatan yang mengguncang jiwa. Ia bukan hanya berbicara untuk dirinya sendiri, tetapi menjadi suara kolektif bagi tanah yang terluka dan rakyat yang tertindas akibat eksploitasi besar-besaran oleh kekuatan pemilik modal asing di abad ke-20.
Puisi ini melukiskan penderitaan bumi dan manusia yang tinggal di atasnya. “Tanah yang bernapas berat” adalah metafora yang menyayat hati, menggambarkan bagaimana lingkungan alami dirobek. Sedangkan “cakar baja,” merujuk pada alat berat tambang yang melukai tanah.
Vitamin bumi, yang seharusnya menjadi kehidupan bagi rakyatnya, malah mengalir ke kantong asing. Dan yang tersisa bagi penduduk lokal hanyalah debu, simbol dari kehancuran dan kesia-siaan.
Pada pertengahan abad ke-20, Amerika Latin menghadapi gelombang eksploitasi sumber daya alam yang sangat intensif.
Tanah kaya mineral seperti emas, perak, dan tembaga menjadi sasaran korporasi-korporasi besar, terutama dari Amerika Utara dan Eropa.
Pemerintah lokal sering kali menjadi kolaborator dalam pengurasan kekayaan ini. Mereka memberikan izin eksploitasi tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan maupun rakyat.