
Inspirasi dari La La Land In Concert (2025, film 2016)
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - “Diperlukan sedikit kegilaan agar bisa mencapai mimpi.”
Baca Juga: Analisis Ekonomi: Penurunan Peringkat Kredit AS Tambah Tekanan pada Ekonomi
Kalimat itu muncul di awal panggung konser malam itu. Disorot dalam cahaya biru keunguan, sebelum not pertama dimainkan oleh orkestra.
Juga sebelum kisah cinta Mia dan Sebastian diputar ulang di layar raksasa dengan latar orkestra hidup.
Tapi mungkinkah kita mengejar keduanya—mimpi dan cinta—tanpa harus kehilangan salah satunya?
Baca Juga: Analisis Denny JA: Setelah Amerika Serikat Menjatuhkan Bom ke Iran
-000-
La La Land, film musikal yang memukau dunia sejak 2016, kini hidup kembali dalam bentuk baru: konser sinematik (2025).
Layar menampilkan seluruh film secara utuh, namun musiknya. Wow musiknya!
Baca Juga: Analisis Denny JA: Indonesia Jadi Tempat Paling Aman Jika Pecah Perang Dunia Ketiga
Ia dihidupkan oleh orkestra langsung yang memainkan tiap denting, tiap gebukan, dengan napas manusia. Seperti cinta itu sendiri: tak sempurna, tapi hidup.
Justin Hurwitz adalah komposer musik di balik La La Land (2016), dan La La Land in Concert (2025). Ini film musikal ikonik karya Damien Chazelle.
Persahabatan dan kolaborasi mereka dimulai sejak masa kuliah di Harvard, menciptakan sinergi luar biasa dalam menghidupkan mimpi lewat musik.
Baca Juga: Analisis Denny JA: Dari Gencatan Senjata Iran-Israel Menuju Masa Depan Palestina Merdeka?
Hurwitz menyusun skor yang memadukan jazz klasik dengan melodi kontemporer. Ia menghasilkan lagu-lagu seperti City of Stars dan Audition (The Fools Who Dream) yang menggugah jiwa.
Musiknya bukan sekadar latar, tapi denyut nadi narasi—menyuarakan harapan, cinta, dan kehilangan.
Karya ini membawanya meraih dua Piala Oscar dan menegaskan posisinya sebagai komposer generasi baru yang brilian dan puitis.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Petrodollar, Uang Kertas, Minyak, dan Tahta Amerika
Di Indonesia, Musik dipersembahkan oleh Twilite Orchestra di bawah arahan Maestro Addie MS.
Di tengah denting piano dan melodi “City of Stars”, kita kembali bertemu Mia, barista yang bercita-cita menjadi aktris.
Juga Sebastian, pianis jazz puritan yang ingin menyelamatkan genre musik yang ia cintai. Mereka bertemu di Los Angeles—La La Land—kota yang menjanjikan mimpi dan menagih realitas sebagai harga.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Wonderland, Dunia Kanak-kanan dalam Lukisan Genre Imajinasi Nusantara
Pertemuan mereka bukan cinta pada pandangan pertama. Tapi pelan, seperti lagu jazz, hubungan itu tumbuh, melengkung, dan mengimprovisasi diri.
Mereka mulai saling menyemangati, saling membakar semangat, saling mendorong untuk tidak menyerah pada dunia yang sering kejam pada pemimpi.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Bumi yang Terluka
Namun mimpi adalah makhluk yang rakus. Ia menuntut waktu, energi, kadang bahkan cinta.
Sebastian memilih bergabung dalam band sukses demi stabilitas finansial. Mia gagal dalam pertunjukan monolognya dan merasa hancur.
Sebastian terlalu sibuk untuk hadir. Mia terlalu kecewa untuk bertahan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Suara Rakyat Ditukar Liter Solar
Mereka bertengkar. Berpisah.
Namun justru saat mereka saling menjauh, mereka saling menjadi alasan. Sebastian mengatur audisi terakhir untuk Mia. Mia memberinya keberanian untuk membuka klub jazz impiannya.
Itulah cinta sejati: bukan tentang memiliki, tapi tentang mengantarkan orang yang kita cintai menuju versi terbaik dirinya—meski itu berarti ia harus pergi.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Mesin Mengebor Lebih Dalam, Melampaui Nurani
-000-
Lima tahun setelah perpisahan, Mia telah menjadi aktris besar. Ia menikah. Memiliki anak. Suatu malam, secara tak sengaja, ia masuk ke klub jazz bernama SEB’S—nama yang dulu mereka pilih bersama.
Di sana, Sebastian memainkan lagu mereka. Saat jari-jarinya menyentuh tuts piano, layar beralih ke montase “seandainya”: seandainya mereka tidak berpisah, menikah, punya anak, hidup bahagia.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Siapa Menguasai Energi, Menguasai Peradaban, Politik Energi Abad 21
Tapi itu hanya mimpi. Sebuah kemungkinan yang tak terjadi.
Dan saat lagu berakhir, Mia dan Sebastian hanya saling menatap.
Tersenyum kecil.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Indonesia dan Jalan Emas Abad 21
Lalu berpisah… untuk kedua kalinya.
Kali ini, tanpa kata, tanpa dendam. Hanya ketenangan. Dan cinta yang tetap ada, meski tak dipeluk.
Dari cara mereka saling memandang, dan saling tersenyum, terasa pesan yang mendalam. Mereka tetap saling mencintai, walau masing- masing hidup terpisah, dan Mia sudah memiliki keluarga sendiri.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Minyak, Bisnis, dan Politik di Era Artificial Intelligence
Saya teringat Eric Fromm yang mengupas filsafat cinta. "Cinta adalah seni yang kadang harus merelakan kekasih kita pergi demi pertumbuhan bersama."
Pengorbanan Mia-Sebastian bukan sekadar romansa, tapi manifestasi agape- cinta yang membebaskan.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Awal Kemajuan China dan Revolusi Damai Deng Xiaoping
La La Land in Concert bukan hanya pemutaran film. Ia adalah doa yang dimainkan secara orkestra. Musik live menjadikan tiap adegan terasa lebih dekat, lebih nyata, lebih menusuk.
Penonton menangis bukan hanya karena Mia dan Sebastian tak bersatu. Tapi karena di dalam mereka, ada mimpi yang pernah gagal.
Ada cinta yang pernah harus dilepas. Ada keputusan yang dulu diambil dengan air mata. Dan malam itu, konser ini memberi izin untuk merasakan semuanya… sekali lagi.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Make Pertamina Great Again
Selain menjadi kisah personal, La La Land membuka cermin bagi generasi urban Indonesia. Ini terutama di tengah budaya hustle dan tekanan sosial untuk “sukses” secara materi maupun asmara.
Banyak anak muda hari ini dihadapkan pada pilihan serupa Mia dan Sebastian: memilih jati diri, mengejar passion, atau menyesuaikan ekspektasi keluarga dan lingkungan.
Di negeri yang kadang masih memandang cinta dan mimpi sebagai dua kutub, konser ini seperti oase: mengajarkan bahwa kegagalan pun berharga, relasi tidak selalu harus dimiliki, dan mendukung berarti membebaskan orang tercinta menemukan panggungnya sendiri.
-000-
Mia dan Sebastian membuktikan bahwa mimpi dan cinta bisa tumbuh bersamaan. Namun tak selalu berjalan dalam arah yang sama.
Kadang, jalan menuju panggung besar justru memisahkan tangan yang dulu saling menggenggam.
Dan mungkin itulah kehidupan.
Bahwa tidak semua cinta dimaksudkan untuk dimiliki.
Sebagian hanya hadir untuk menyulut cahaya…
…agar mimpi seseorang bisa menyala lebih terang.
Saat lampu konser padam dan orkestra mengakhiri nada terakhirnya, saya terdiam.
Seperti Mia dan Sebastian, banyak orang yang pernah mencintai, dan bermimpi. Mereka tahu rasanya memilih satu di antara dua yang sama-sama suci.
Dan kita pun tersentak.
Kadang, cinta terbesar bukan yang hidup selamanya…
tapi yang cukup kuat untuk melepaskan.
Agar mimpi yang dulu kita bagi bisa terbang lebih tinggi, meski tak bersama.
Terkadang, kita terjebak antara tuntutan dunia dan bisikan hati sendiri.
Namun, justru keberanian memilih—meski penuh luka—menjadikan kita manusia seutuhnya.
Belajar merelakan, mencinta tanpa memiliki,
dan tumbuh dalam mimpi yang tak selalu sempurna.
Di luar konser, langit Los Angeles tidak penuh bintang. Tapi di dada saya, ada simfoni yang tak akan pernah usai.***
Jakarta, 27 Juli 2025
REFERENSI
Erich Fromm, The Art of Loving, Harper & Row, 1956.
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World