DECEMBER 9, 2022
Buku

Ulasan Buku: Satu Bumi dan Satu Kemanusiaan

image
Buku “Satu Bumi, Satu Manusia Satu Spiritualitas” yang terbit Mei 2025 (Foto: Istimewa)

Oleh Syaefudin Simon*

ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah kota tua yang asri, hiduplah seorang sufi bernama Syaikh Nafi. Ia menghabiskan hari-harinya di sebuah masjid kecil di pinggir kota. Di masjid mungil itulah Syaikh Nafi berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan menemani siapa pun yang datang -- entah mereka ulama, pedagang, pemabuk, pengemis, pelacur atau pencuri. Bila mereka datang ke masjid itu, semuanya diterima dengan baik dan dihormati  oleh syaikh. 

Syaikh Nafi dikenal masyarakat setempat bukan karena keilmuannya, tapi karena ketulusan hatinya. Ia tak pernah menolak tamu, tak pernah bertanya latar belakang siapa pun yang duduk bersamanya. Baginya, setiap manusia adalah tamu Allah, dan tugasnya hanyalah menerima dan mencintai mereka.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama di Era Artificial Intelligence, Antara Identitas Kelompok dan Etika Publik

Suatu malam, saat dunia terlelap, Syaikh Nafi  duduk sendiri dalam mihrabnya. Lampu minyak hampir padam. Dalam sunyi yang pekat, muncullah sesosok entitas yang bercahaya. Sosok itu matanya jernih, wajahnya terlihat muda, dan bersinar.

“Assalamu ‘alaikum, wahai hamba Allah.”
“Wa ‘alaikum salam,” jawab sang sufi dengan tenang. “Siapakah engkau?”
“Aku adalah malaikat pencatat amal manusia. Aku diutus oleh Yang Maha Mulia di Langit untuk membawa kitab yang mencatat para kekasih Allah.”

Syaikh Nafi’ tersenyum. Ia lalu bertanya dengan lirih:
“Adakah namaku tertulis di dalamnya sebagai kekasih Allah yang nomor satu?”
Malaikat itu membuka kitab besar yang berpendar. Ia menggeleng kepala, pelan.
“Engkau memang dikenal sebagai orang saleh, tapi bukan yang teratas dalam daftar cinta Allah.”

Baca Juga: In Memoriam Paus Fransiskus: Membawa Agama yang Ekologis dan Penuh Kasih

Syaikh Nafi’ tertunduk. Namun bukan karena kecewa. Melainkan karena cintanya kepada Allah  yang sangat besar. Ia pun membatin, Allah tak menempatkannya sebagai kekasihNYA yang nomer satu, karena mungkin belum  menyintai manusia sebagaimana ia menyintai Allah. 

“Kalau begitu,” kata Syaikh Nafi, “sampaikan pada Tuhanmu… bahwa aku menyintai manusia. Bukan hanya yang baik padaku, tapi semuanya. Aku menyintai mereka karena mereka adalah ciptaan-NYA. Aku ingin menyintai manusia sebagaimana Allah menyintai mereka, tanpa syarat.”
Malaikat itu menatapnya lama. Lalu ia pergi, kembali ke langit.

Beberapa hari berlalu. Syaikh Nafi tetap hidup seperti biasa. Ia menyapu masjid, memberi makan kucing liar, menghibur anak-anak miskin, dan membantu untuk meringankan beban para janda tua di pasar.

Baca Juga: Workshop Esoterika Fellowship Program, Denny JA: Artificial Intelligence Dorong Tafsir Agama Pro Hak Asasi

Malam itu, malaikat datang lagi. Kali ini cahayanya lebih terang, dan wajahnya tampak penuh kekaguman.

“Wahai Nafi,” katanya, “aku datang lagi membawa kitab yang sama.”
Syaikh itu menatapnya lembut. “Adakah perubahan?”
Malaikat tersenyum dan berkata:
“Ya. Kali ini, engkau tertulis sebagai kekasih Allah nomor satu.”

Syaikh Nafi’ menangis dan bersujud. Dalam hatinya ia berkata:
“Aku tak pantas, ya Rabb. Tapi jika cinta pada manusia yang Engkau ciptakan bisa membuat-MU mencintaiku, maka biarlah cinta ini tetap menyala dan tak pernah habis sampai suatu hari aku menghadap-MU.”

Baca Juga: Denny JA: Perlu Dibentuk Pusat Studi Agama dan Spiritualitas Era Artificial Intelligence

Sejak  malam itu, wajah Syaikh Nafi berbinar karena ia tahu rahasia cinta Allah kepada hambaNya. Ternyata, mencintai manusia adalah jalan tercepat menggapai cinta-NYA. Ia tak pernah menceritakan kisah itu pada siapa pun. Tapi setiap orang yang duduk di dekatnya, merasa seakan sedang duduk dalam pangkuan kasih Tuhan. Pesan dari kisah sufistik itu adalah: 
“Allah mencintai hamba yang mencintai ciptaan-NYA. Bukan karena amalnya sempurna, tapi karena hatinya lapang untuk semua makhluk-NYA. Cinta yang tulus kepada manusia, adalah cermin cinta yang tulus kepada Tuhan.”

Kisah sufi Syaikh Nafi yang bertemu malaikat pencatat amal tersebut, terasa “kompatibel” dengan gagasan di buku “Satu Bumi, Satu Manusia Satu Spiritualitas” yang terbit Mei 2025 ini. Buku  yang berisi dokumentasi orasi hari raya aneka agama  lintas iman yang diterbitkan oleh Cerah Budaya   Internasional, LLC Cheyenne, Wyoming, USA, 2025 – menarasikan bagaimana sebaiknya manusia memandang manusia sebagai manusia, dengan segala dimensinya yang luhur dan agung.

Pinjam istilah almarhum Gayatri Muthari, seorang syaikha tarekat Daudiyah, tujuan hidup manusia adalah menegakkan tauhid satu kemanusiaan. Tauhid satu kemanusiaan ini yang diulas luas dalam buku tersebut, melalui fenomena dan mutiara hikmah dari perayaan hari-hari besar agama. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Perlu Ikut Merayakan Secara Sosial Hari Besar Agama Lain?

Denny JA, dalam kata pengantar buku ini menggambarkan kisah perayaan hari-hari besar suatu agama yang dilakukan umat dari berbagai agama. Ada kaum muslimin menyiapkan dapur umum untuk menyambut Natal di New York. Umat Yahudi ikut buka bersama dengan umat Islam yang sedang puasa Ramadan di California. Dan ribuan wisatawan  asing di Bali ikut khusuk menghormati Hari Nyepi dalam  ritual umat Hindu di Bali. 

Orang merayakan hari-hari besar semua agama kini sudah menjadi fenomena umum di berbagai negara maju seperti Inggris, Prancis, Jepang, dan Amerika. Bahkan di Jepang lebih unik lagi. Orang Jepang yang beragama Shinto, tak hanya merayakan Natal dan Imlek. Tapi juga merayakan hari-hari besar dalam tradisi Hindu, Budha, dan agama lokal. 

Di Jepang, orok baru lahir, disambut dengan pesta tradisi Budha. Begitu menikah, perayaannya memakai gaya Kristen Barat. Pas meninggal, upacaranya gabungan Budha dan Kristen. Di antara itu, masih ada “pesta kultural” kehidupan bangsa Jepang yang mengadopsi tradisi Shinto dan agama-agama lokal. Bagi orang Jepang, semua agama menarik, karena setiap agama tidak hanya membawa aspek teologis. Tapi juga aspek kultural dan filosofis.      

Baca Juga: Orasi Denny JA: Negara yang Mayoritas Populasi Anggap Agama Penting, Pemerintahannya Justru Korup

Di Jawa, kita pun menyaksikan mudik lebaran Idulfitri, tak hanya dilakukan umat Islam. Tapi juga umat lain. Perayaan lebaran Idulfitri telah menjadi bagian budaya masyarakat Jawa, bahkan Indonesia. Tak peduli apa agamanya.

Dari fenomena ini, tepat yang dikatakan Denny JA, bahwa  agama-agama yang ada di bumi merupakan lumbung emas kultural yang harus kita jaga dan hormati bersama. Agama ada untuk merekatkan ukhuwah insaniah. Bukan sebaliknya. 

Secara spesifik, kitab suci Alquran menyatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu, laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling  takwa di antara kamu” (Al-Hujarat 13).  

Baca Juga: Wapres Gibran Silaturahmi dengan Tokoh Adat dan Agama di Sikka, Nusa Tenggara Timur

Dari perspektif “Satu Bumi, Satu Manusia, dan Satu Spiritualitas” maka makna taqwa adalah kesadaran moral dan spiritual yang mendalam akan keberadaan Kebenaran Tertinggi yang membimbing seseorang untuk hidup dengan hati-hati, penuh tanggung jawab, dan hormat terhadap kehidupan, baik terhadap Tuhan, sesama manusia, maupun alam semesta.

Secara ecosofis,  taqwa mencakup sikap hormat terhadap semua ciptaan Tuhan dan sebuah kesadaran  bahwa kita bagian dari jaringan kehidupan yang saling terhubung. Dan manusia adalah entitas evolusi tertinggi dari ciptaan Tuhan di muka bumi yang menjadi simpul-simpul keterhubungan tersebut.

Buku ini menarik karena pembaca diajak mengenal aspek-aspek spiritual penuh hikmah yang membangun peradaban dunia dari ajaran-ajaran semua agama dan kepercayaan.

Baca Juga: Orasi Denny JA: Agama Era Artificial Intelligence Masuk Kampus

Di buku ini tercatat, melalui perayaan hari-hari besar agama dan kepercayaan seperti Imlek (Konghucu), Naw-Ruz (Baha’i), Puasa dan Paskah (Islam-Kristen), Raksha Bandhan (Hindu Brahma Kumaris), Hari Santo Fransiskus dari Assisi (Katolik), Hari Arbaik (Syiah), Hari Khliafat (Ahmadiyah), Hari Saraswati (Hindu), Natal Antariman, Weisak (Budha), Rumi Day, dan Renungan Agama Leluhur – pembaca diajak berkelana mengenal ajaran-ajaran moral dan hikmah yang kini membentuk peradaban dunia dan menjadi pedoman hidup umat manusia di muka bumi.  

Dari buku ini, akhirnya kita menyadari bahwa agama-agama yang ada di muka bumi  adalah warisan kultural bersama umat manusia  yang harus kita jaga dan hormati keberadaannya. Sebab  Agama, dalam perjalanan sejarah manusia, tidak hanya membentuk hubungan antara manusia dan Tuhan.

Agama juga menjadi lumbung emas kultural -- gudang besar tempat nilai-nilai luhur, tradisi, sastra, seni, dan etika kemanusiaan disimpan dan diwariskan lintas generasi..

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ikhtiar Ikut Merayakan Secara Sosial Hari Raya Agama Lain

*Syaefudin Simon adalah kolumnis dan penulis SATUPENA.***

Halaman:

Berita Terkait