Catatan Denny JA: Agama di Era Artificial Intelligence, Antara Identitas Kelompok dan Etika Publik
- Penulis : Arseto
- Minggu, 20 April 2025 15:03 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Pada suatu sore yang muram di Ambon, seorang remaja bernama Adrianus duduk termenung di atas batu karang pesisir Amahusu. Laut tampak tenang, namun hatinya tidak.
Di tangannya, ia menggenggam salib kecil warisan neneknya yang wafat saat kerusuhan 1999 memisahkan Ambon menjadi dua kubu besar: Muslim dan Kristen.
Adrianus tak ingin hidup dalam bayang-bayang konflik yang tak ia pahami. Ia tumbuh dalam era baru. Ia sekolah di kampus pluralis, berteman akrab dengan Rifqi, seorang santri muda yang hafal al quran dan juga penggemar sastra Rusia.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menuju Perang Dingin 2.0, dan Kekalahan Amerika Serikat?
Mereka tak lagi bicara soal “kami” dan “mereka”, tapi soal masa depan yang bisa dirajut bersama.
Suatu hari, Rifqi menunjukkan padanya sebuah percakapan dengan ChatGPT. Ia bertanya: “Apakah aku harus membenci penganut agama lain demi keimanan?”
Artificial intelligence (AI) itu menjawab lembut: “Tidak. Spiritualitas adalah jembatan, bukan pagar. Etika publik menuntunmu mencintai sesama manusia, bukan menyingkirkannya.”
Baca Juga: Catatan Denny JA: Titiek Puspa dan Hidup yang Jenaka
Adrianus tertegun. Di luar kebisingan ideologi, di luar khutbah-khutbah yang kadang menyisakan luka, sebuah mesin justru membawa kedamaian ke ruang batinnya.
-000-
Kisah Adrianus dan Rifqi bukan sekadar potret persahabatan. Ia simbol dari zaman yang sedang berubah. Zaman ketika agama tak lagi hanya suara mimbar, tapi juga bisikan batin yang dibantu dipahami oleh kecerdasan buatan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: 10 Pesan Spiritual yang Universal Masuk Kampus
Di zaman ini, pertanyaan besar muncul: Mengapa di negara-negara yang sangat religius, justru korupsi lebih merajalela?