Catatan Denny JA: Mengapa Perlu Ikut Merayakan Secara Sosial Hari Besar Agama Lain?
- Penulis : Arseto
- Jumat, 25 April 2025 06:36 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Di jantung kota New York, di musim dingin Desember 2024, komunitas Muslim menyiapkan dapur umum untuk membagikan makanan hangat kepada tunawisma. Ini sebagai bagian dari semangat Natal. Mereka menyebut kegiatan ini “Faith Beyond Walls”.
Di bulan Ramadan, banyak komunitas Yahudi di California secara rutin ikut berbuka puasa bersama komunitas Muslim, menyebutnya “Iftar Shalom.”
Mereka hadir, bukan karena berbagi keyakinan, tapi karena berbagi nilai: solidaritas, keheningan, kasih.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Indonesia Perlu Belajar Dari United Emirat Arab, Dari Gurun Pasir ke Pusat Dunia
Di Bali, ribuan wisatawan mancanegara diam dalam senyap saat Hari Raya Nyepi. Mereka tak berasal dari tradisi Hindu. Tapi mereka menghormati hening, dan beberapa justru mengaku terinspirasi untuk melakukan kontemplasi pribadi.
Bahkan pentas wayang Ramayana—yang berakar pada kitab suci Hindu—ditonton dengan penuh takzim oleh mereka yang tak memeluk agama itu.
Kisah-kisah itu nyata. Mereka adalah refleksi dari dunia yang mulai merayakan iman secara sosial, bukan teologis.
Mereka tidak mengubah agama. Tapi mereka menambahkan: kemanusiaan sebagai ruang perjumpaan spiritual.
-000-
Buku ini adalah hasil dokumentasi dari eksperimen spiritual sosial oleh Esoterika Forum Spiritualitas. Sejak tahun 2023 hingga 2025, forum ini telah menyelenggarakan lebih dari selusin perayaan lintas iman secara sosial, bukan secara teologis.
Di antaranya: Imlek Konghucu, Naw-Ruz dari agama Baha’I, Puasa dan Paskah (Islam-Kristen), Raksha Bandhan (Hindu-Brahma Kumaris), Hari Santo Fransiskus dari Assisi (Katolik), Hari Arbain (Syiah), Hari Khilafat (Ahmadiyah), Hari Saraswati (Hindu), Waisak (Buddha), Natal antariman, Rumi Day,Renungan Agama Leluhur.