DECEMBER 9, 2022
Kolom

Syaefudin Simon: Budhy yang Budhis

image
Budhy Munawar-Rachman (Foto: Youtube)

ORBITINDONESIA.COM - Budhy Munawar-Rachman, mendapat anugrah Insan Pancasila 2024, kategori Lintas Iman dari BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Tasyakurannya  diadakan di resto Korea Yongdaeri, Mall of Indonesia, Jaktim oleh kelompok Creator Club, Jumat 12 Juli 2024. Hadir Denny JA, Elza Peldi Taher, Muhamad Asrun, Fatin Hamama, Isti Nugroho, Satrio Arismunandar, Nita, Amel Fitriani, Monica Anggi, Swary Utami Dewi, Jonminofri, Ali, dan aku.

Budhy, 61 tahun, sebenarnya seorang "Gus" keturunan seorang kyai NU asal Bojonegoro yg juga profesor riset (APU), Abdul Rachman Saleh, dosen UIN Ciputat. Budhy, pendiri Nurcholish Madjid Society (NCMS), mengaku kedekatannya dengan Cak Nur sebetulnya berseberangan dengan minat ayahnya.

Sang ayah tidak menyukai pemikiran-pemikiran Islam Cak Nur dan Harun Nasution (mantan rektor UIN Ciputat),  tapi Budhy sebaliknya. Bahkan disertasinya di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, membahas pemikiran Islam Nurcholish Madjid.

Baca Juga: HEBOH, Kuil Buddha di Thailand Dibiarkan Kosong karena Seluruh Biksu Positif Narkoba

Kenapa sekolah di STF, tidak di IAIN atau UI? Budhy mengaku dirinya adalah "korban Mansour Fakih" seorang pegiat LSM, doktor sosiologi Massachusetts, AS yang menggeluti transformasi sosial dan rasionalisme Islam. 

Seperti halnya "korban-korban"  Mansour Fakih yang lain -- di antaranya Kyai Husein Muhamad dan Kiai Masdar Mas'udi, keduanya kemudian menjadi tokoh LSM  -- Budhy pun "jatuh cinta pada kajian gender dan tranformasi sosial serta rasionalisme Islam". 

Budhy sempat menjadi "anak emas" Mansour Faqih yang mendorong agar Cak Nur lebih progresif dalam mewacanakan agama. Agama, kata Mansour, harus terlibat langsung dan menjadi pionir dalam transformasi sosial. 

Baca Juga: Budhy Munawar Rachman: Sekolah dan Lembaga Pendidikan Justru Mendorong Keberagamaan yang Eksklusif

Ketika Budhy ingin melanjutkan studi, Mansour memaksa Budhy kuliah di STF Driyarkara. Budhy "dilarang"  Mansour kuliah di IAIN atau UI, tapi harus di STF. Dan Budhy mengikuti "paksaan" Mansour tadi.

Celakanya, justru di STF inilah  Budhy mengenal lebih dekat Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi. Keduanya adalah dosen di sekolah filsafat yang didirikan Gereja Katolik ini. Dari situlah sosok Budhy Munawar-Rachman terbentuk.

Berkat kedekatan dengan Mansour, Budhy mendalami transformasi sosial dan sempat menjadi salah seorang "direktur"  di Asia Foundation. Kedekatannya dengan Cak Nur menjadikan Budhy seorang pegiat toleransi dalam Islam. Dan kedekatannya dengan Djohan Effendy  menjadikan Budhy seorang pegiat toleransi Antariman. 

Baca Juga: Indonesia Dianugerahi Dua Arca Buddha Raja Thailand akan Ditempatkan di Serdang Bedagai dan Kota Medan

Terakhir kedekatan Budhy dengan Denny JA (sejak kuliah, diteruskan di Kelompok Studi Proklamasi hingga hari ini) menjadikan Budhy bergerak lebih jauh. Bukan hanya menjadi sosok aktivis toleransi antariman, tapi juga mendukung gagasan transformasi agama Denny JA yang  melebar amat luas. Yaitu "Agama Sebagai Warisan Kultural". Agama, kata Denny, adalah milik bersama umat manusia. Karena itu agama adalah warisan kultural umat manusia. 

Gagasan Denny JA kemudian didukung Budhy. Keduanya berusaha menumbuhkan kesadaran di ruang publik untuk memiliki semua agama.  Dan karenanya perlu merayakan hari-hari besar semua agama. 

Melalui media sosial,  Denny dan Budhy menggerakkan kelompok lintas iman  Esotetika-Spiritual di  sosial media. Sejumlah hari-hari besar agama -- seperti Islam, Buddha, Hindu, Kristen, Katholik, Ahmadiyah, Baha'i telah diperingati dengan meriah oleh kelompok  esoterika spiritual antariman ini.

Baca Juga: Bahai Bukan Islam, Tetapi Mengakui Muhammad, Yesus, Musa, Ibrahim, Buddha Sebagai Rasul

Jika Cak Nur  bergelut dengan pemikiran-pemikiran Islam yang toleran dan kosmopolitan; Mas Djohan mewujudkannya dalam tindakan toleransi antariman, Budhy langsung "masuk dan menghayati"  spiritualitas antariman. Budhy ikut "sembahyang"  bersama mereka. Dan merasa memiliki agama mereka. 

Itulah sebabnya, banyak kaum  agamawan non Islam menganggap Budhy sebagai salah seorang dari tokoh mereka. Ada seorang biksu yang menyatakan, wajah Budhy yang tenang, cerah, dan penuh senyum, terlihat  lebih budhis ketimbang orang Budha.

Seorang pastor menyatakan, sosok Budhy lebih katolik ketimbang orang Katolik. Begitu pula, tokoh-tokoh agama  lain. Budhy adalah bagian dari mereka. Bahkan melampaui "keimanan"  mereka. 

Baca Juga: Budhy Munawar Rachman: Di Era Kini Agama yang Dibutuhkan Adalah yang Ramah Dengan Manusia dan Lingkungannya

Dalam sebuah peringatan Weisak 2024 di Jakarta, penyair Ahmad Gaus yang sudah "membudhy" membacakan puisinya yang sangat Indah tentang agama Budha.

Puisi Ahmad Gaus
SANG BUDDHA
 
Kukenal dia samar-samar
Buddha Gautama, namanya
Hadir dalam ingatanku sebagai bongkahan batu gunung yang dipahat
Dijadikan patung di kuil raja
Lalu disembah oleh orang-orang musyrik
Di akhirat nanti, mereka akan dipanggang
di jurang neraka
Bersama patung yang mereka sembah

Beribu-ribu burung gaib datang silih berganti
Membawa dupa, lilin, makanan, dan air suci
Diletakkan di depan patung yang sedang tenggelam dalam diam
Aku tidak mengerti
Bagiku itu adalah perbuatan syirik, menyekutukan Tuhan
Tapi memang aku menyaksikan sendiri
Bagaimana bulan, bintang, matahari, angin dan petir, tunduk pada ketenangan patung itu

Baca Juga: Pagoda Tertinggi di Indonesia Ini Diresmikan, Selain Tempat Bersembahyang Umat Buddha juga Jadi Objek Wisata

Kuhampiri ia
Kuucapkan kata-kata kasar yang kucuri dari sebuah mimbar
Tapi ia tetap saja diam tanpa ekspresi
Tidak menampakkan kemarahan
Tidak juga keluhan, kesedihan, atau rasa takut.

Kata-kata itu malah berbalik ke arahku
Menghantamku bagai hujan deras yang mengerang 
Menceburkan diriku ke samudera pasang
O, betapa dalam
Betapa dalam kebodohanku
Aku tidak pernah tahu siapa yang bersembunyi di tubuh patung itu

Dasar samudera dapat kulihat dengan mata terpejam
Rahasianya dapat kudengar dari ombak yang berdenyut ke tepian
Tapi Sang Buddha seperti batu di Kuil Raja
Yang tidak ingin diketahui
Maka aku menyebutnya sebagai Nabi yang masa bodoh
Guru spiritual yang nyentrik yang tidak ingin
punya pengikut
Yang tidak membawa-bawa rantai dan palu untuk menghukum umatnya 

Baca Juga: Denny JA Bicara tentang Universalisasi Pesan Agama di Forum Esoterika Acara Waisak Agama Buddha

Sebelum menjadi batu di Kuil Raja itu
Sang Buddha telah menempuh perjalanan spiritual yang sangat jauh
Meninggalkan kenikmatan duniawi
Mencari kedamaian dan kebenaran
Sampai akhirnya Dia menemukan jawaban dari setiap pertanyaannya — dalam diam
Dalam diam

Maka Sang Buddha membiarkan orang-orang menjadi diri mereka sendiri — hanya dengan diam
Tidak menyuruh mereka pergi ke rumah ibadah
Tidak meminta mereka melafalkan mantra
atau doa tertentu
Apalagi mengajak orang untuk berperang
atas nama kebenaran — mungkin itu terdengar menggelikan di telinganya

Aku geleng-geleng kepala
Kok ada Nabi yang seperti itu
Kok bisa guru agama hendak membebaskan manusia dari kungkungan agama

Baca Juga: Budhy Munawar-Rachman: Lomborg, Ekologi, dan Ulil 

Apakah agama sudah begitu bebal?
Mengurung manusia dalam penjara yang indah atas nama hukum dan moralitas?
Merantai mereka sehingga tidak bisa mengepakkan sayap-sayapnya ke langit?
Apakah agama mencegah manusia menjadi dirinya sendiri, dengan memberi mereka topeng kesalehan?
Apakah agama telah menjadi begitu keras dan fanatik?

Aku yakin Sang Buddha tidak akan tertarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu
Dia hanya tertarik untuk duduk-diam
Dia memang menjengkelkan
Tidak bicara, tidak punya keinginan
Tanpa tujuan, tanpa kerinduan pada apapun
Dia hanya menikmati keberadaan dalam sunyi yang abadi
Tapi sungguh aku terkejut
Dalam duduk-diam di ruang sunyi itu
Ribuan bunga teratai bermekaran

Aku mulai merasa malu dengan berbagai tuduhan yang kualamatkan kepada Sang Buddha
Kata-kataku yang kasar kepadanya hanya pantulan dari alam bawah sadarku
Yang gemar mencaci-maki
Sebab aku terbiasa menyeru Tuhan dengan suara yang keras
Dengan pelantang

Aku tidak tahu apakah ada yang lebih penting dari ajaran diam
Ketika peradaban agama semakin berisik seperti pasar malam

Sang Buddha mengajarkan bahwa dengan duduk-diam
Dalam keheningan
Dalam kekosongan
Di sana ada keabadian
Dan manusia dapat menemukan wujud  kosmiknya di alam semesta
Seperti kesadaran bunga teratai yang muncul di permukaan air telaga
Mekar ke dunia
Melambangkan pencerahan

Aku pun menjelma seekor burung
Agar dapat terbang ke tengah telaga
Untuk meraih bunga itu
Tapi sayang, cakar-cakarku melukainya
Hingga bunga itu berguguran
Helai demi helai
Hancur dan lebur ke dalam lumpur
Seperti diriku yang hancur lebur
Di hadapan Sang Buddha

(Oleh: Syaefudin Simon, penulis Satupena)

Berita Terkait