Ulasan Buku: Satu Bumi dan Satu Kemanusiaan
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Sabtu, 24 Mei 2025 23:27 WIB

“Wahai Nafi,” katanya, “aku datang lagi membawa kitab yang sama.”
Syaikh itu menatapnya lembut. “Adakah perubahan?”
Malaikat tersenyum dan berkata:
“Ya. Kali ini, engkau tertulis sebagai kekasih Allah nomor satu.”
Syaikh Nafi’ menangis dan bersujud. Dalam hatinya ia berkata:
“Aku tak pantas, ya Rabb. Tapi jika cinta pada manusia yang Engkau ciptakan bisa membuat-MU mencintaiku, maka biarlah cinta ini tetap menyala dan tak pernah habis sampai suatu hari aku menghadap-MU.”
Sejak malam itu, wajah Syaikh Nafi berbinar karena ia tahu rahasia cinta Allah kepada hambaNya. Ternyata, mencintai manusia adalah jalan tercepat menggapai cinta-NYA. Ia tak pernah menceritakan kisah itu pada siapa pun. Tapi setiap orang yang duduk di dekatnya, merasa seakan sedang duduk dalam pangkuan kasih Tuhan. Pesan dari kisah sufistik itu adalah:
“Allah mencintai hamba yang mencintai ciptaan-NYA. Bukan karena amalnya sempurna, tapi karena hatinya lapang untuk semua makhluk-NYA. Cinta yang tulus kepada manusia, adalah cermin cinta yang tulus kepada Tuhan.”
Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama di Era Artificial Intelligence, Antara Identitas Kelompok dan Etika Publik
Kisah sufi Syaikh Nafi yang bertemu malaikat pencatat amal tersebut, terasa “kompatibel” dengan gagasan di buku “Satu Bumi, Satu Manusia Satu Spiritualitas” yang terbit Mei 2025 ini. Buku yang berisi dokumentasi orasi hari raya aneka agama lintas iman yang diterbitkan oleh Cerah Budaya Internasional, LLC Cheyenne, Wyoming, USA, 2025 – menarasikan bagaimana sebaiknya manusia memandang manusia sebagai manusia, dengan segala dimensinya yang luhur dan agung.
Pinjam istilah almarhum Gayatri Muthari, seorang syaikha tarekat Daudiyah, tujuan hidup manusia adalah menegakkan tauhid satu kemanusiaan. Tauhid satu kemanusiaan ini yang diulas luas dalam buku tersebut, melalui fenomena dan mutiara hikmah dari perayaan hari-hari besar agama.
Denny JA, dalam kata pengantar buku ini menggambarkan kisah perayaan hari-hari besar suatu agama yang dilakukan umat dari berbagai agama. Ada kaum muslimin menyiapkan dapur umum untuk menyambut Natal di New York. Umat Yahudi ikut buka bersama dengan umat Islam yang sedang puasa Ramadan di California. Dan ribuan wisatawan asing di Bali ikut khusuk menghormati Hari Nyepi dalam ritual umat Hindu di Bali.
Baca Juga: In Memoriam Paus Fransiskus: Membawa Agama yang Ekologis dan Penuh Kasih
Orang merayakan hari-hari besar semua agama kini sudah menjadi fenomena umum di berbagai negara maju seperti Inggris, Prancis, Jepang, dan Amerika. Bahkan di Jepang lebih unik lagi. Orang Jepang yang beragama Shinto, tak hanya merayakan Natal dan Imlek. Tapi juga merayakan hari-hari besar dalam tradisi Hindu, Budha, dan agama lokal.
Di Jepang, orok baru lahir, disambut dengan pesta tradisi Budha. Begitu menikah, perayaannya memakai gaya Kristen Barat. Pas meninggal, upacaranya gabungan Budha dan Kristen. Di antara itu, masih ada “pesta kultural” kehidupan bangsa Jepang yang mengadopsi tradisi Shinto dan agama-agama lokal. Bagi orang Jepang, semua agama menarik, karena setiap agama tidak hanya membawa aspek teologis. Tapi juga aspek kultural dan filosofis.
Di Jawa, kita pun menyaksikan mudik lebaran Idulfitri, tak hanya dilakukan umat Islam. Tapi juga umat lain. Perayaan lebaran Idulfitri telah menjadi bagian budaya masyarakat Jawa, bahkan Indonesia. Tak peduli apa agamanya.
Dari fenomena ini, tepat yang dikatakan Denny JA, bahwa agama-agama yang ada di bumi merupakan lumbung emas kultural yang harus kita jaga dan hormati bersama. Agama ada untuk merekatkan ukhuwah insaniah. Bukan sebaliknya.