Ulasan Buku: Satu Bumi dan Satu Kemanusiaan
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Sabtu, 24 Mei 2025 23:27 WIB

Oleh Syaefudin Simon*
ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah kota tua yang asri, hiduplah seorang sufi bernama Syaikh Nafi. Ia menghabiskan hari-harinya di sebuah masjid kecil di pinggir kota. Di masjid mungil itulah Syaikh Nafi berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan menemani siapa pun yang datang -- entah mereka ulama, pedagang, pemabuk, pengemis, pelacur atau pencuri. Bila mereka datang ke masjid itu, semuanya diterima dengan baik dan dihormati oleh syaikh.
Syaikh Nafi dikenal masyarakat setempat bukan karena keilmuannya, tapi karena ketulusan hatinya. Ia tak pernah menolak tamu, tak pernah bertanya latar belakang siapa pun yang duduk bersamanya. Baginya, setiap manusia adalah tamu Allah, dan tugasnya hanyalah menerima dan mencintai mereka.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama di Era Artificial Intelligence, Antara Identitas Kelompok dan Etika Publik
Suatu malam, saat dunia terlelap, Syaikh Nafi duduk sendiri dalam mihrabnya. Lampu minyak hampir padam. Dalam sunyi yang pekat, muncullah sesosok entitas yang bercahaya. Sosok itu matanya jernih, wajahnya terlihat muda, dan bersinar.
“Assalamu ‘alaikum, wahai hamba Allah.”
“Wa ‘alaikum salam,” jawab sang sufi dengan tenang. “Siapakah engkau?”
“Aku adalah malaikat pencatat amal manusia. Aku diutus oleh Yang Maha Mulia di Langit untuk membawa kitab yang mencatat para kekasih Allah.”
Syaikh Nafi’ tersenyum. Ia lalu bertanya dengan lirih:
“Adakah namaku tertulis di dalamnya sebagai kekasih Allah yang nomor satu?”
Malaikat itu membuka kitab besar yang berpendar. Ia menggeleng kepala, pelan.
“Engkau memang dikenal sebagai orang saleh, tapi bukan yang teratas dalam daftar cinta Allah.”
Baca Juga: In Memoriam Paus Fransiskus: Membawa Agama yang Ekologis dan Penuh Kasih
Syaikh Nafi’ tertunduk. Namun bukan karena kecewa. Melainkan karena cintanya kepada Allah yang sangat besar. Ia pun membatin, Allah tak menempatkannya sebagai kekasihNYA yang nomer satu, karena mungkin belum menyintai manusia sebagaimana ia menyintai Allah.
“Kalau begitu,” kata Syaikh Nafi, “sampaikan pada Tuhanmu… bahwa aku menyintai manusia. Bukan hanya yang baik padaku, tapi semuanya. Aku menyintai mereka karena mereka adalah ciptaan-NYA. Aku ingin menyintai manusia sebagaimana Allah menyintai mereka, tanpa syarat.”
Malaikat itu menatapnya lama. Lalu ia pergi, kembali ke langit.
Beberapa hari berlalu. Syaikh Nafi tetap hidup seperti biasa. Ia menyapu masjid, memberi makan kucing liar, menghibur anak-anak miskin, dan membantu untuk meringankan beban para janda tua di pasar.
Malam itu, malaikat datang lagi. Kali ini cahayanya lebih terang, dan wajahnya tampak penuh kekaguman.