DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Awal Kemajuan China dan Revolusi Damai Deng Xiaoping

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Mengapa Cina Mampu Melompat Jauh Ke depan? (1)

ORBITINDONESIA.COM - Di musim dingin tahun 1978. Malam membeku di Desa Xiaogang, Provinsi Anhui. 

Di balik gelap dan bisu malam, delapan belas petani berkumpul di pondok bambu yang sederhana. Mereka menandatangani perjanjian diam-diam, tak dengan pena mewah, tapi dengan sidik jari mereka, di atas secarik kertas robekan buku tulis. 

Baca Juga: Inilah Pengantar Buku Imam Qalyubi “Analisis Semiotik, Linguistik dan Intertekstualitas Terhadap 15 Puisi Esai Denny JA”

Apa yang mereka lakukan sangat berbahaya: membagi lahan kolektif menjadi milik keluarga. Jika diketahui negara, hukuman mereka bisa lebih berat daripada sekadar penjara. Mereka bisa “dilenyapkan” oleh revolusi.

Namun malam itu, ketakutan akan kelaparan mengalahkan rasa takut terhadap peluru.

Tanpa mereka sadari, gerakan sunyi itu akan membelah zaman. Seperti batu pertama yang dilempar ke permukaan danau, riak kecil itu mencapai Beijing. 

Baca Juga: Analisis Denny JA: Setelah Amerika Serikat Menjatuhkan Bom ke Iran

Dan dari ibu kota, seorang lelaki mungil bernama Deng Xiaoping melihat peristiwa itu bukan sebagai pelanggaran, apalagi ancaman, melainkan kemungkinan untuk perubahan.

Sejarah dimulai bukan dengan genderang perang, tetapi dengan bunyi pena yang bergetar di tengah sunyi desa.

-000-

Baca Juga: Analisis Denny JA: Indonesia Jadi Tempat Paling Aman Jika Pecah Perang Dunia Ketiga

Ketika Deng Xiaoping kembali ke tampuk kekuasaan pasca wafatnya Mao Zedong pada 1976, ia mewarisi reruntuhan. 

Revolusi Kebudayaan telah membakar buku, membubarkan universitas, menghancurkan keluarga, dan membunuh gagasan. 

Negeri Tiongkok yang dulu membanggakan ribuan tahun sejarah, tinggal puing-puing ekonomi dan trauma kolektif.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Dari Gencatan Senjata Iran-Israel Menuju Masa Depan Palestina Merdeka?

Tapi Deng tidak seperti pemimpin sebelumnya. Ia bukan orator seperti Mao. Ia tidak memimpin pasukan seperti Jenderal Lin Biao. 

Deng adalah teknokrat dengan napas panjang dan pemikiran pendekatan praktis. Filosofinya sederhana dan tajam:

“Tidak peduli kucing itu hitam atau putih, selama ia bisa menangkap tikus.”

Baca Juga: Catatan Denny JA: Donald Trump, Tarif 32 Persen dan Kisah Sepatu Cibaduyut

Bagi Deng, ideologi tidak lebih penting dibandingkan hasil. Apa gunanya bersih secara ideologis jika rakyat tetap lapar?

-000-

Shenzhen: Dari Lumpur ke Silicon Delta

Baca Juga: Catatan Denny JA: Matahari Terbit di Ladang Minyak, Transisi Energi dan Ketakutan Oligarki Lama

Langkah awalnya bukan pidato, tapi laboratorium sosial: Zona Ekonomi Khusus di Shenzhen. Ini sebuah perkampungan nelayan yang terletak di seberang perbatasan Hong Kong. 

Dalam waktu singkat, tanah berlumpur berubah menjadi beton. Dan warung ikan menjadi gedung pencakar langit.

Deng memutuskan: “Biarkan sebagian orang menjadi kaya lebih dahulu.” Bagi rakyat yang dulu dilarang memiliki bisnis, ini seperti membuka jendela setelah bertahun-tahun dikurung.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Petrodollar, Uang Kertas, Minyak, dan Tahta Amerika

Shenzhen bukan sekadar kota. Ia adalah simbol. Ia adalah bukti bahwa pasar dan sosialisme bisa menari bersama, jika ada kemauan politik dan keberanian eksperimentasi.

Angka-angka yang lahir dari reformasi Deng hampir tidak bisa dipercaya:

• GDP tumbuh hampir 10% per tahun selama tiga dekade.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Wonderland, Dunia Kanak-kanan dalam Lukisan Genre Imajinasi Nusantara

• Lebih dari 800 juta orang keluar dari kemiskinan ekstrem.

• Cadangan devisa meroket hingga USD 3 triliun.

• Cina menjadi pabrik dunia, dari tekstil hingga microchip.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Bumi yang Terluka

Tapi di balik statistik ini, ada kisah manusia:

• Tentang anak petani yang kini bekerja di lab AI di Hangzhou.

• Tentang nenek 80 tahun yang untuk pertama kalinya naik kereta cepat ke Beijing.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Suara Rakyat Ditukar Liter Solar

• Tentang desa yang dulu gelap gulita kini terang oleh panel surya dan WiFi.

Cina bukan hanya tumbuh. Ia melompat—dari era bajak sapi ke era satelit.

-000-

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Mesin Mengebor Lebih Dalam, Melampaui Nurani

Paradoks Deng: Sosialisme dengan Wajah Kapitalisme

Deng adalah paradoks yang berjalan. Ia mendukung pasar bebas, tapi menolak demokrasi liberal. Ia membuka Cina untuk investasi asing, tapi tetap menjaga peran Partai Komunis.

Apakah Deng seorang kapitalis terselubung?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Siapa Menguasai Energi, Menguasai Peradaban, Politik Energi Abad 21

Tidak. Deng adalah pragmatis murni. Ia percaya bahwa efektivitas lebih penting dari kesucian ideologi. 

Dalam pikirannya, sosialisme bukan dogma, melainkan kendaraan. Jika kendaraan itu mogok, maka mesinnya harus diganti—tanpa membuang arah.

Ia menolak “sorga ideologi” yang membuat rakyat mati kelaparan. Baginya, keadilan bukan membagi kemiskinan, tapi membagi kemakmuran.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Indonesia dan Jalan Emas Abad 21

Ketika Cina masuk ke WTO pada 2001, banyak negara Barat berharap sistem komunis akan lunak, dan demokrasi akan masuk bersama modal. 

Yang terjadi justru sebaliknya: dunia menjadi tergantung pada Cina.

• Produksi global dari tekstil hingga teknologi bertumpu pada pabrik-pabrik Cina.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Minyak, Bisnis, dan Politik di Era Artificial Intelligence

• Setiap guncangan di Cina—dari wabah hingga krisis properti—mengguncang Dow Jones dan Nikkei.

• Tiongkok menjadi pemasok utama solar panel, baterai EV, dan alat kesehatan dunia.

Ironisnya, Barat yang membayangkan Cina akan berubah menjadi mereka, justru perlahan diserap ke dalam orbit sistem ekonomi Deng: efisien, cepat, dan penuh kontrol.

Deng's legacy kini diuji oleh ambisi Xi

Jinping: kebijakan "Dual Circulation" (2020) bertujuan mengurangi ketergantungan pada ekspor dengan memperkuat pasar domestik.

Dual Circulation itu strategi ekonomi Tiongkok yang mengutamakan pertumbuhan lewat konsumsi dan inovasi domestik (sirkulasi internal). Ini dilakukan sambil tetap menjaga perdagangan dan investasi global (sirkulasi eksternal).

Data Bank Dunia (2024) menunjukkan konsumsi rumah tangga Tiongkok mencapai 55% GDP, naik dari 35% di era 2000-an.

Namun, upaya transisi ke ekonomi berbasis inovasi menghadapi "middle-income trap"— pertumbuhan melambat ke 5,2% (2024) akibat perang dagang AS dan overkapasitas industri. 

Di sisi lain, investasi riset Al mencapai USD 90  miliar (2024), menyaingi AS. Paradoksnya, sementara Tiongkok memimpin dalam paten teknologi hijau (50% global), emisi karbonnya masih tertinggi di dunia—bukti bahwa lompatan Deng masih menyisakan jejak yang belum stabil.

-000-

Apa Harga dari Kemajuan?

Tapi pertanyaan tak terhindarkan muncul: apa harga dari semua ini?

• Ketimpangan antara kota dan desa semakin menganga.

• Partai Komunis menjadi terlalu besar untuk dikritik.

• Sistem pengawasan digital melahirkan “negara panoptikon”.

• Aktivis, jurnalis, bahkan miliarder bisa menghilang.

Apakah semua ini layak, jika rakyat kenyang tapi bisu?

Ini adalah dilema eksistensial abad ke-21: apakah kebebasan harus dikorbankan demi kemakmuran? 

Deng sendiri tak sempat menjawab pertanyaan ini, tapi sistem yang ia ciptakan membuka pintu pada kontrol ala Xi Jinping.

Deng bukan revolusioner seperti Che Guevara. Ia bukan visioner spiritual seperti Gandhi. 

Ia lebih mirip Bismarck atau Roosevelt, pemimpin yang merakit ulang bangsanya bukan dengan darah, tapi dengan struktur, sistem, dan kesabaran.

• Roosevelt menyelamatkan kapitalisme dari keruntuhan.

• Bismarck menyatukan Jerman dengan kekuatan negara dan kebijakan sosial.

• Deng menyelamatkan sosialisme dengan membuka jalan kapitalisme.

Ia bukan pembuat puisi, tapi darah sejarah mengalir dari penanya.

-000-

Menuju Era AI: Ketika Warisan Deng Jadi Mesin Dunia

Hari ini, mesin-mesin yang lahir dari visi Deng bergerak ke ranah baru: kecerdasan buatan, blockchain, kuantum computing. 

Visi “Made in China 2025” adalah kelanjutan dari blueprint Deng: modernisasi, bukan imitasi.

Cina mungkin belum sepenuhnya mengungguli Amerika, tapi ketika ekonomi Tiongkok akhirnya menjadi nomor satu dunia (diprediksi sebelum 2035 oleh PwC), lonceng kemenangan akan berdentang jauh ke makam Deng Xiaoping.

Ia tidak pernah mengenal kata metaverse atau cloud computing, tapi ia menciptakan mentalitas bangsa yang siap berubah, cepat beradaptasi, dan tak kenal takut pada masa depan.

Di akhir hidupnya, Deng tidak meminta patung. Ia tidak menggelar parade. Ia hanya ingin makan sederhana dan mendengar kabar panen.

Seperti air yang mengalir tanpa suara, ia mengubah lanskap sejarah tanpa gempita.

Ia bukan penyair, tapi puisinya adalah Cina modern. Ia bukan nabi, tapi rakyatnya menyebut namanya dengan hormat. Ia bukan dewa, tapi dunia tunduk pada hasil karyanya.

Dan dari sebuah desa sunyi di Anhui, hingga pusat AI di Hangzhou, Deng membuktikan satu hal:

Sejarah tidak selalu ditulis oleh pemenang perang. Kadang, ia ditulis oleh mereka yang berani berpikir berbeda.

-000-

Filosofi Utama: Keberanian Menjadi Lentur

Jika ada satu pelajaran dari Deng Xiaoping yang bisa direnungkan dunia, itu adalah: lentur lebih kuat dari kaku. 

Dalam sejarah, negara yang terlalu keras patah oleh zaman. Tapi negara yang lentur, yang berani berubah, justru bertahan dan menang.

Dalam era krisis iklim, disrupsi teknologi, dan polarisasi global, dunia butuh lebih banyak Deng Xiaoping: bukan untuk membangun tembok, tapi untuk mencari retakan yang bisa mengubah segalanya.***

Jakarta,24 Juli 2025

REFERENSI

1. Ezra F. Vogel – Deng Xiaoping and the Transformation of China (2011)

2. Thomas Orlik – China: The Bubble That Never Pops (2020)

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/19QRLAvfph/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait