DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Bingkisan Lebaran Dari Presiden Prabowo Subianto dan Seskab Teddy Indra Wijaya yang Menyentuh

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM - “Kekuasaan terasa hadir tidak hanya melalui kebijakannya yang bermanfaat dan tegas, tapi juga melalui sentuhan manusiawi yang lembut.”

Kutipan ini yang teringat kembali ketika saya pulang ke Jakarta, 9 April 2025, tengah malam.

Sejak hari-hari terakhir Ramadan hingga beberapa hari setelah lebaran, saya dan keluarga umrah dan jeda sejenak ke Mekah, Madinah, Al Ula, dan Jeddah.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Sejarah Surat Cinta bagi yang Telah Tiada

Kembali ke Jakarta, Rabu, 9 April 2025 tengah malam, di meja ruang tamu, saya melihat bingkisan selamat lebaran dari Presiden Prabowo Subianto dan Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya.

Saya terpana sejenak. Dalam hati mengucapkan terima kasih. Tapi pikiran saya melayang ke tahun 1997, sekitar 28 tahun lalu, ketika saya kuliah di Amerika Serikat, dan mengambil kelas politik Jepang.

Kutipan di atas berasal dari profesor kuliah politik Jepang itu. Dosen yang mengajar menceritakan betapa kuat hubungan politikus Jepang dan masyarakatnya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Kuputari Kakbah

Di negeri itu, para politikus rajin mengirim kartu ulang tahun, kartu duka cita, bahkan ucapan selamat hari raya kepada konstituennya.

Tradisi ini bukan sekadar formalitas. Ini bagian dari jalinan relasi personal yang memperkuat kepercayaan antara pemimpin dan rakyat.

Ini sebuah tradisi yang penting untuk juga dijalani oleh pemimpin di Indonesia, tak hanya eksekutif, tapi juga legislatif, tak hanya di pusat, tapi juga di daerah.

Baca Juga: Catatan Denny JA: 10 Pesan Spiritual Universal, Realitas Itu Bersifat Spiritual

-000-

Di Jepang, kekuasaan tidak hanya dibangun lewat strategi rasional atau kekuatan partai. Ia juga bertumbuh dari sesuatu yang lebih lembut: perhatian personal.

Tradisi ini mengakar dalam budaya Jepang yang menjunjung keharmonisan (wa), rasa hormat (sonkei), dan kewajiban timbal balik (giri).

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyerukan Kebenaran dan Keadilan

Politikus menjaga hubungan dengan rakyatnya bukan hanya ketika Pemilu tiba. Mereka mengirim kartu ulang tahun, ucapan duka, salam hangat untuk hari raya—meskipun masyarakat Jepang dikenal tidak religius secara institusional.

Kartu-kartu itu tidak massal. Banyak yang ditulis tangan, atau disesuaikan penerimanya. Ini bukan basa-basi, melainkan cerminan ketulusan dan penghormatan.

Ketika seorang politikus mengingat ulang tahun seorang warga, atau menyampaikan belasungkawa kepada keluarga rakyat biasa, ia sedang menanamkan kepercayaan. Bukan sekadar menjanjikan kebijakan, tapi menghadirkan kemanusiaan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Janji Kampanye Donald Trump yang Menyulitkan Pemerintahan Baru

Sistem ini bersumber dari praktik politik pascaperang yang menekankan koenkai, organisasi pendukung personal di tingkat lokal. Lewat koenkai, politisi hadir dalam pernikahan, pemakaman, hingga festival desa. Mereka membaur, bukan hanya tampil.

Di balik kostum formal dan bahasa sopan tingkat tinggi, politik Jepang menyimpan semangat kekeluargaan.

Sebagai efeknya, rakyat mencintai politisi yang dipilihnya lebih emosional. Tak heran banyak politisi Jepang di parlemen, yang terpilih berulang- ulang karena kedekatan hati dengan rakyat.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Indonesia Perlu Belajar Dari United Emirat Arab, Dari Gurun Pasir ke Pusat Dunia

Ini hanya untuk contoh saja. Tiga anggota palemen Jepang yang terpilih berkali-kali:

1.    Kenzaburo Hara – 54 tahun (1946–2000)

2.    Yoshio Sakurauchi – 53 tahun (1947–2000)

Baca Juga: Catatan Denny JA: Indonesia Belajar Dari Korea Selatan, Dari Puing-puing Perang Menuju Cahaya Peradaban

3.    Toshiki Kaifu – 48 tahun (1960–2009)

Mereka bukan hanya kuat di partai. Mereka juga kuat di hati rakyat. Mereka dikenal hangat menyapa pemilihnya secara personal.

Saya melihat ini sebagai perwujudan relasi “Aku-Kamu” seperti dikatakan Martin Buber. Politik bukan hanya soal struktur dan strategi, tapi relasi antar-subjek, antar manusia yang saling hadir.

Di tengah dunia yang semakin impersonal, Jepang mengingatkan kita: kekuasaan tak kehilangan kehangatannya jika ia tetap menyapa secara pribadi.

-000-

Menyambut lebaran yang hening, saya menerima dua bingkisan. Artistik tapi tidak berlebihan.

Tertulis jelas nama pengirimnya: Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dan Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya.

Itu bukan sekadar kiriman. Itu sapaan hangat. Sapaan yang menyentuh hati, bukan karena isi materinya, tetapi karena makna simboliknya. Dalam kesibukan negara, masih ada ruang untuk mengingat dan menyapa warga secara personal.

Ada tiga alasan mengapa sentuhan manusiawi dalam politik menjadi sangat penting di zaman ini:

Pertama, karena kekuasaan sejati bukan sekadar sistem, melainkan jalinan relasi.

Rakyat bukan angka dalam survei. Mereka adalah manusia dengan luka, cerita, dan harapan.

Ketika pemimpin menyapa mereka secara pribadi, kekuasaan menjadi lebih rendah hati dan menyentuh.

Kedua, karena kepercayaan tidak tumbuh dari janji semata, tapi dari rasa dihargai dan diingat.

Politik yang menyentuh hati menciptakan kedekatan yang tak bisa dibeli oleh iklan atau dibangun oleh retorika.

Ketiga, karena empati adalah akar dari kepemimpinan yang bijak.

Pemimpin yang hadir sewaktu suka dan duka rakyatnya, bukan hanya waktu kampanye, akan menumbuhkan kebijakan yang lebih membumi.

Sebuah parcel lebaran, sepucuk kartu ucapan, atau kalimat tulus yang dikirimkan pada saat yang tepat, bisa menjadi jembatan yang menghubungkan istana dengan rumah-rumah kecil di pelosok. Ia menjadikan kekuasaan terasa hadir, terasa peduli.

Tapi tetap perlu diberi catatan kritis. Politik sentuhan manusiawi, yang menyapa rakyat secara personal, hanya meaningful, jika ia berada dalam pemerintahan yang memberikan efek program yang nyata.

Jika perhatian itu tak berpijak pada kebijakan yang adil dan keberpihakan nyata, ia akan jadi sapaan kosong yang mudah terlupa.

Karena rakyat tak hanya ingin disapa—mereka ingin diangkat derajatnya. Ini yang utama.

-000-

Dalam demokrasi modern, kepercayaan adalah mata uang yang tak terlihat namun paling menentukan. Ia tak dibeli dengan iklan, tak dibangun dalam pidato, melainkan ditanam lewat perhatian kecil yang konsisten.

Robert Putnam dalam Bowling Alone (2000) menyebut ini sebagai social capital. Ini jaringan relasi, kepercayaan, dan norma timbal balik yang membuat masyarakat berfungsi.

Penelitiannya menunjukkan bahwa daerah dengan modal sosial tinggi mencatat kepatuhan terhadap kebijakan publik 32 persen lebih tinggi dibanding wilayah dengan relasi sosial rapuh.

Dalam konteks itu, sentuhan politik yang manusiawi dari pemimpin kepada rakyatnya, ia bagian dari bridging social capital.

Ia menjadi jembatan antara kekuasaan dan masyarakat, yang memungkinkan dialog dan kebijakan berjalan lebih lancar.

Setiap kartu ucapan yang ditulis dengan tulus, setiap sapaan personal yang dikirim langsung ke rakyat, memperkuat rasa dimiliki dan didengarkan.

Tanpa jaringan sosial yang kuat, kebijakan tinggal di atas kertas. Tapi dengan sentuhan manusiawi, ia menjelma menjadi gerakan bersama.

Maka, merawat relasi personal bukan basa-basi. Ia strategi paling manusiawi untuk membangun legitimasi yang tahan lama.

-000-

Di zaman media sosial, sentuhan manusiawi tak harus hadir dalam bentuk bingkisan atau kartu pos.

Ia bisa menempuh jalur yang lebih cepat namun tetap hangat. Misalnya pesan pribadi melalui WhatsApp, email, atau bahkan DM yang ditulis dengan tulus.

Sebuah ucapan ulang tahun dari seorang pemimpin, dikirim langsung ke ponsel rakyat, bisa menjadi penanda bahwa politik tidak melupakan manusia.

Bukan pesan massal, bukan pesan datar yang disalin-tempel. Tapi kata-kata yang mencerminkan perhatian.

Teknologi, jika digunakan dengan niat mendekat, justru bisa memperluas kehangatan. AI bahkan memungkinkan pemimpin menyapa jutaan rakyat dengan cara yang terasa personal—karena pesannya disesuaikan dengan kondisi dan cerita masing-masing.

Dulu, rakyat hanyalah angka dalam statistik. Kini, mereka bisa menjadi nama, cerita, dan harapan—yang disapa satu per satu, oleh kekuasaan yang belajar mendekat, bukan sekadar memerintah.

Ia adalah warisan yang perlu ditradisikan oleh seluruh pelayan publik—menteri, anggota parlemen, kepala daerah, hingga pejabat paling lokal.

Sebab dalam kesederhanaan sebuah sapaan, tersimpan kepercayaan yang tulus. Dan kepercayaan adalah pondasi yang lebih kukuh di samping program yang nyata.

Pemimpin yang hadir tidak hanya di layar, tetapi juga di hati, akan lebih dikenang. Sebab dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, perhatian kecil justru menjadi penanda kehadiran yang sesungguhnya.

-000-

Indonesia sebenarnya memiliki jejak tradisi serupa dalam politik lokal. Misalnya, tradisi ‘blusukan’ yang dipopulerkan oleh Presiden Joko Widodo menjadi simbol pendekatan personal seorang pemimpin kepada rakyatnya.

Dengan turun langsung ke pasar, kampung, atau lokasi bencana, pemimpin menunjukkan empati dan kehadiran nyata di tengah masyarakat.

Tradisi ini mengingatkan kita bahwa sentuhan manusiawi bukanlah hal baru di Indonesia, hanya saja perlu diperluas dan dimodernisasi agar tetap relevan di era digital.

Dan kini tersedia teknologi artificial intelligence (AI) yang mempermudah pemimpin menyapa rakyatnya secara lebih personal.

Teknologi AI memberi pemimpin tangan tak terlihat untuk menjangkau hati rakyat, satu per satu, secara lebih massif.***

Jakarta, 10 April 2025

CATATAN:

(1) Tentang politik Jepang yang memelihara sentuhan manusiawi politisi dan rakyatnya: Social Participation and Voting Turnout – Anson D. Shupe, 1979

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, sastra, agama dan spiritualitas, politik, sejarah, serta catatan perjalanan bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1AFa969AA5/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait