Catatan Denny JA: Komunitas Agama dan Spiritual di Era Artificial Intelligence
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 16 Maret 2025 12:34 WIB

Kekosongan Teori Sosiologi Agama di Era AI (8)
ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah galeri seni di Paris, Prancis, seorang pria berdiri di depan lukisan Rembrandt. Ia bukan pelukis, tetapi matanya menangkap kedalaman warna, bayangan, dan cahaya yang diungkap sang maestro berabad-abad lalu.
Lukisan itu berbicara kepadanya tanpa perlu kata-kata.
Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya
Di sebuah gedung konser di Wina, Austria, seorang perempuan duduk di bangku paling belakang. Ia bukan musisi, tetapi jari-jarinya mengetuk lutut mengikuti irama simfoni Mozart.
Nada-nada itu membangkitkan sesuatu dalam dirinya, seolah membawa ingatan dari kehidupan yang tak ia kenal.
Seni, dalam berbagai bentuknya, memiliki keajaiban untuk melampaui batas identitas. Tidak perlu menjadi seniman untuk merasakan kedalaman lukisan. Tidak perlu menjadi musisi untuk tersentuh oleh musik. Ia bisa menjadi milik siapa saja yang membuka hati untuknya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho
Apa pun agamanya, negaranya, jenis kelaminnya, orientasi seksualnya, etniknya, semua bisa menikmati musik dan lukisan dunia. Siapa pun.
Demikian pula agama. Di era kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), ketika batas-batas kepercayaan semakin cair dan dogma menghadapi tantangan rasionalitas, agama bisa menjadi sumber inspirasi dan kebijaksanaan bagi siapa saja, tanpa harus menjadi penganutnya. Siapa pun.
Mungkinkah itu? Mengapa ia mungkin, dan mengapa itu perlu diupayakan?
-000-