DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Review Buku “Penyair yang Mati Gentayangan di Catatan Kaki,” (2025), Oleh Okky Madasari dkk

ORBITINDONESIA.COM - Sekitar tahun 1008 M, di balik tirai sutra istana Kekaisaran Jepang, seorang perempuan muda menulis dengan kuas di atas kertas halus.

Namanya Murasaki Shikibu—seorang janda, pelayan istana, dan penyair. Tapi malam itu, ia tidak sedang menulis puisi.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menunggu Hasil Perang Melawan Korupsi Ala Presiden Prabowo Subianto

Ia menulis tentang seorang lelaki bernama Genji. Bukan dewa, bukan ksatria. Ia putra kaisar yang mencinta, kehilangan, menyesal, dan tenggelam dalam kerinduan tak terucapkan.

Puisi tak cukup untuknya. Tak mampu menampung diamnya hati perempuan yang ditinggal. Tak sanggup menyampaikan detak gugup saat cinta yang salah menyelinap masuk. Puisi terlalu megah untuk mencatat kelembutan yang retak perlahan.

Maka lahirlah The Tale of Genji, karya yang kini dikenang sebagai novel pertama dalam sejarah umat manusia¹. Ditulis bukan karena puisi gagal, tapi karena dunia perasaan terlalu luas untuk dibatasi oleh bait.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi Menjadi Saksi Zaman

Sejak malam itu, sastra berubah. Karena kadang, bahkan puisi pun tak cukup.

-000-

Kisah lahirnya novel ini yang saya ingat setelah membaca buku Penyair yang Mati Gentayangan di Catatan Kaki.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah dan Makna Melalui Lukisan

Okky Madasari membuka pengantar buku ini dengan sebuah pertanyaan yang menyayat: Apakah puisi—yang begitu indah, begitu kuat, dan telah menjadi alat perjuangan—masih belum cukup, sehingga harus lahir puisi esai?

Halaman:

Berita Terkait