DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Sebuah genre lahir dari kegelisahan yang tak tertampung. Ia muncul bukan karena ingin menjadi berbeda, tetapi karena dunia yang ada sudah terlalu sempit bagi pengalaman batin yang baru.

Rap lahir dari jalan-jalan sempit di Bronx, New York, sebagai teriakan kaum terpinggirkan yang tak diwakili oleh media arus utama.

Spoken word poetry muncul di kafe-kafe dan panggung kecil sebagai reaksi terhadap puisi liris yang terlalu tenang bagi hati yang marah dan resah.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menunggu Hasil Perang Melawan Korupsi Ala Presiden Prabowo Subianto

Puisi esai lahir dari hasrat menjembatani seni dan kenyataan sosial, dari kebutuhan menyatukan estetika dengan empati, emosi dengan data.

Semuanya menjawab jerit zaman—bukan meniru masa lalu.

Genre yang tak lahir dari rasa zaman akan terasa artifisial. Ia seperti gaun yang indah namun tak nyaman dipakai. Publik akan mengaguminya sejenak, lalu melupakannya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi Menjadi Saksi Zaman

Sementara genre yang benar-benar dibutuhkan, walau awalnya dianggap asing, bahkan nyeleneh, akan disambut seperti hujan pertama setelah musim kemarau. Ia terasa segar, mewakili, dan menyembuhkan.

Ketika Van Gogh membawa aliran baru dalam lukisan, ia awalnya ditolak. Dari 800 lukisannya, hanya satu yang dibeli pasar.

Tapi setelah kematiannya, aliran lukisan Van  Gogh dipuji. Ia yang di masa hidupnya diabaikan, kini dianggap salah satu pelukis terbesar.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah dan Makna Melalui Lukisan

Nasib genre baru bisa saja seperti kisah lukisan Van Gogh.

Halaman:

Berita Terkait