Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 29 Mei 2025 06:51 WIB

“Saya Diperkosa karena Saya Cina” – Darmawati Majid.
Ia membandingkan puisi esai “Sapu Tangan Fang Yin” karya Denny JA dengan cerpen “Clara” karya Seno Gumira Ajidarma.
Darmawati bertanya: Apakah puisi esai benar-benar menggugah empati? Atau justru kehilangan pukulan emosional karena terlalu menjelaskan dengan catatan kaki?
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menunggu Hasil Perang Melawan Korupsi Ala Presiden Prabowo Subianto
Ia membedah trauma kolektif Mei 1998. Menunjukkan bagaimana puisi esai berada di antara metafora dan data, antara fiksi dan kenyataan.
“Penyair yang Mati, Gentayangan di Catatan Kaki”
*Ghufroni An’ars
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi Menjadi Saksi Zaman
Mengangkat konsep “kematian pengarang” dari Roland Barthes, Ghufroni menilai puisi esai justru menghidupkan kembali pengarangnya melalui catatan kaki.
“Penyair yang mestinya mati setelah puisinya selesai, kini gentayangan di bagian bawah halaman.”
Pertanyaannya tajam: Apakah catatan kaki memperkaya? Atau justru membebani puisi?
Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah dan Makna Melalui Lukisan
“Menjelajah Stilistika dan Metafora Puisi Esai” – Achmad San