Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 29 Mei 2025 06:51 WIB

Dengan alat analisis stilistika, San mengkaji kekuatan dan kelemahan puisi esai dalam gaya bahasa dan metafora.
Ia menyimpulkan: puisi esai kuat dalam aspek utile—bermanfaat secara sosial. Tapi lemah dalam dulce—keindahan bahasa.
Metafora puisi esai, katanya, terlalu literal, terlalu jurnalistik. Belum menciptakan simbol abadi seperti “binatang jalang” Chairil, atau “Hujan Bulan Juni” Sapardi.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menunggu Hasil Perang Melawan Korupsi Ala Presiden Prabowo Subianto
Buku ini penting. Ia bukan glorifikasi puisi esai, melainkan uji coba intelektual yang jujur, jernih, dan adil.
Ia bukan manifesto, tapi percakapan. Ia bukan selebrasi, tapi renungan.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi Menjadi Saksi Zaman
Selesai membaca buku ini, pertanyaan Okky terus menggaung:
Kenapa puisi tidak cukup? Kenapa harus ada puisi esai?
Ini respon saya. Sejarah seni, bahkan sejarah manusia, adalah sejarah tentang bentuk yang tak pernah cukup.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah dan Makna Melalui Lukisan
Apapun mulai dari seni, ilmu pengetahuan, tafsir agama hingga teknologi selalu tak cukup. Karena itulah ada perubahan dan lompatan dalam peradaban.