Catatan Denny JA: Janji Kampanye Donald Trump yang Menyulitkan Pemerintahan Baru
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 07 April 2025 17:49 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Namanya John Heisdorffer. Ia petani kedelai generasi ketiga dari Iowa. Ladang itu telah diwariskan sejak zaman kakeknya.
Setiap musim gugur, John menatap panen dengan rasa syukur. Ia menanam, memanen, dan percaya pada janji Amerika.
Namun sejak 2018, janji itu berubah menjadi pedang bermata dua. Perang dagang dengan Cina dimulai. Negeri tirai bambu itu membalas tarif Amerika dengan menghentikan impor kedelai. Harga anjlok. Gudang-gudang penuh hasil panen yang tak laku dijual.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Peta Jalan Agama di Zaman Artificial Intelligence
“Ini bukan perang biasa,” kata John. “Ini perang dagang. Dan petani seperti saya yang jadi tentaranya.”
Tahun 2016, John memilih Donald Trump. Ia percaya semangat Make America Great Again. Ia yakin Trump akan melindungi petani. Namun yang terjadi justru sebaliknya. (1)
Delapan tahun kemudian, pemilu 2024 tiba. Banyak petani seperti John tetap memilih Trump. Harapan lama dibungkus ulang dengan slogan baru: nasionalisme ekonomi, proteksi tenaga kerja, dan janji menekan Cina habis-habisan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: In Memoriam Firdaus Ali, Semoga Nyanyimu Lebih Merdu di Samping-Nya
Dan Trump menepati janjinya.
Begitu dilantik kembali, ia menghidupkan senjata lamanya: tarif impor. Kali ini lebih luas, lebih keras. Mobil listrik asal Cina, semikonduktor, baja, aluminium, panel surya—semuanya dikenai bea masuk tinggi.
Trump menyebut kebijakan ini sebagai Liberation Day. Ia memberlakukan tarif dasar 10 persen untuk semua impor, efektif mulai 5 April 2025. Negara-negara dengan defisit perdagangan besar terhadap AS dikenai tarif lebih tinggi. Termasuk Indonesia, yang dikenai tarif 32 persen. Negara-negara kecil seperti Lesotho dan Saint Pierre dan Miquelon bahkan dikenai tarif 50 persen.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Sejarah Surat Cinta bagi yang Telah Tiada
Di Iowa, John kembali duduk di teras rumahnya pada pagi musim semi. Ia menyeduh kopi, memandangi ladangnya yang kini sepi. Harga pupuk melonjak. Pabrik pengolah kedelai tutup. America First terasa seperti Iowa Last.