DECEMBER 9, 2022
Kolom

Riset LSI Denny JA: Gebrakan Prabowo Subianto, Antara Gagasan Besar dan Kesiapan Tata Kelola Pemerintahan

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM - “Di ujung senja, napas Arini (7 tahun) terhenti di gubuk sunyi desa terpencil. Klinik terdekat berjarak sehari berjalan kaki, denyut nadinya tak sanggup menanti."

"Seandainya ratusan triliun rupiah tak dijarah koruptor, ribuan klinik telah berdiri. Arini mungkin masih hidup, mengejar kupu-kupu, tersenyum di bawah mentari, bukan terbaring pucat, selamanya memeluk boneka lusuhnya.”

Prabowo Subianto memiliki potensi besar membawa Indonesia melompat ke kategori negara maju. Namun, itu hanya terjadi jika visinya yang besar ditopang oleh tata kelola pemerintahan yang baik.

Baca Juga: LSI Denny JA: Presiden Prabowo Subianto Capai Puncak Popularitas Usai Dilantik

Demikianlah satu kesimpulan riset LSI Denny JA, bulan Maret 2025.

Prabowo jelas memiliki karakter pemimpin visioner. Ia berani mengambil langkah-langkah di luar kebiasaan. Ia juga memiliki kecakapan politik merangkul berbagai kekuatan ekonomi serta politik.

Visinya menjanjikan lompatan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

Baca Juga: Pilkada Jawa Tengah 2024, LSI Denny JA: Ahmad Luthfi-Taj Yasin 46,8 Persen, Andika Perkasa-Hendrar Prihadi 28,2 Persen

Namun, seperti yang ditunjukkan oleh banyak pengalaman sejarah, visi besar hanya dapat terwujud jika didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik.

Tanpa tata kelola yang bersih, efektif, dan transparan, pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Investor akan ragu untuk menanamkan modalnya.

Birokrasi akan semakin berbelit. Rakyat tidak akan benar-benar merasakan manfaat pembangunan.

Baca Juga: Inilah Analisis LSI Denny JA tentang Pemenang Pilkada di Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur

Sayangnya, berbagai indeks global masih menunjukkan tata kelola pemerintahan Indonesia ada dalam situasi yang lemah.

Untuk itu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengembangkan good governance index (GGI).

Ini sebuah alat ukur yang mengintegrasikan enam indeks global utama. Terutama juga menyambut datangnya era proses digital dan artificial intelligence dalam proses pemerintahan.

Baca Juga: Pilkada Jakarta 2024, Survei LSI Denny JA: Pramono Anung-Rano Karno Bersaing Ketat Lawan Ridwan Kamil-Suswono

Tujuan dari indeks ini untuk memahami posisi Indonesia dalam tata kelola pemerintahan di era baru, dan menentukan langkah-langkah konkret untuk perbaikan.

-000-

Langkah-langkah yang digagas Prabowo menunjukkan keinginan maju yang luar biasa. Ia menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Baca Juga: LSI Denny JA Selenggarakan Quick Count Pilkada 2024 di Televisi Mulai Pukul 15.00 WIB

Ini sebuah angka yang, jika tercapai secara terus menerus, akan membawa Indonesia menjadi kekuatan ekonomi baru.

Beberapa kebijakan strategisnya antara lain:

•      Pembentukan Danantara, lembaga pengelola dana investasi negara dengan aset Rp 14.000 triliun.

Baca Juga: Inilah Hasil Hitung Cepat LSI Denny JA di Berbagai Daerah, Pilkada Jakarta Belum Bisa Disimpulkan Pemenangnya

•      Mengundang tokoh dunia seperti Tony Blair dan Ray Dalio sebagai penasihat ekonomi.

•      Program populis seperti makan bergizi gratis dan 70.000 koperasi Merah Putih untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

•      Mendorong keterlibatan pengusaha nasional dalam pembangunan ekonomi.

Baca Juga: LSI Denny JA Sebut Angka Golput Pilkada 2024 di 7 Provinsi Tinggi, Ini Alasannya

Jika semua agenda ini berhasil dieksekusi dengan baik, Indonesia akan memasuki era keemasan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Namun, target besar ini dapat terhambat oleh korupsi, birokrasi yang tidak efisien, dan tata kelola yang lemah.

Kita bisa sebut beberapa kasus saja untuk gambaran umum. Kasus korupsi di Pertamina yang disebut media di bulan maret 2025 sebagai “Kasus Pertamax Oplosan,” merugikan negara Rp193,7 triliun.

Baca Juga: Catatan Akhir Tahun Opini Publik LSI Denny JA: Publik Pro 7 Program, Tapi Sangat Kontra Pilkada Dipilih DPRD

Pada Juli 2024, Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi terkait 109 ton emas dalam rentang 2010-2022, yang melibatkan sejumlah pejabat PT Antam Tbk.

Juga terbongkar kasus pengelolaan tata niaga komoditas timah. Pada periode 2015-2022, kasus ini turut berdampak pada kerusakan lingkungan dengan total kerugian mencapai Rp 271,07 triliun.

Ini baru kasus yang terbongkar. Berapa banyak yang belum terbongkar karena kultur korupsi sudah begitu mengakar.

Baca Juga: Riset LSI Denny JA: Pilkada Sebaiknya Mengikuti Aturan Pilpres yang Baru

Bagaimana pula jika penyebab korupsi itu bukan soal moral pribadi, tapi akibat jaringan oligarkhi yang sudah saling mengunci?

Bagaimana jika total korupsi ratusan triliun itu uang yang cukup membangun puluhan ribu sekolah berstandar internasional?

-000-

Baca Juga: Inilah Respons Positif dan Negatif 100 Hari Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka Hasil Riset LSI Denny JA

Menakar Kualitas Pemerintahan: Enam Pilar dalam Good Governance Index (GGI)

Dalam upaya memahami dan mengukur tata kelola pemerintahan secara komprehensif, LSI Denny JA berinisiatif mengembangkan Good Governance Index (GGI).

Untuk kerja ini, LSI Denny JA menggabungkan enam dimensi utama yang mencerminkan kompleksitas pemerintahan modern.Enam indeks ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan, membentuk gambaran utuh tentang bagaimana suatu negara dikelola, dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat.

1. Efektivitas Pemerintahan: Mampukah Negara Bekerja untuk Rakyatnya?

Sebuah negara tidak bisa disebut memiliki pemerintahan yang baik jika birokrasi lamban, layanan publik buruk, dan kebijakan sering gagal diimplementasikan.

Indeks Efektivitas Pemerintahan (Government Effectiveness Index - GEI) mengukur sejauh mana pemerintah mampu menjalankan kebijakannya dengan efisien.

Index ini diukur oleh World Bank, sejak tahun 1996. Negara dengan efektivitas pemerintahan tinggi memiliki sistem birokrasi yang profesional, layanan publik yang cepat dan berkualitas, serta pemimpin yang kompeten dalam mengeksekusi kebijakan.

Tanpa efektivitas ini, rencana pembangunan sebesar apa pun akan menemui jalan buntu.

2. Pemberantasan Korupsi: Seberapa Bersih Pemerintahan dari Penyalahgunaan Kekuasaan?

Korupsi bukan hanya kejahatan finansial, tetapi penyakit yang melumpuhkan sistem pemerintahan. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index - CPI) menjadi indikator penting dalam menilai apakah sebuah negara memiliki tata kelola yang bersih atau justru penuh dengan praktik kecurangan.

Index korupsi ini diukur oleh Transparancy International sejak 1995.

Korupsi menghambat investasi, merusak kepercayaan publik, dan memperburuk ketimpangan sosial. Negara-negara dengan CPI tinggi cenderung memiliki pemerintahan yang lebih stabil, ekonomi yang lebih kuat, dan layanan publik yang lebih baik.

3. Demokrasi: Seberapa Besar Partisipasi Publik dalam Pemerintahan?

Tanpa demokrasi yang sehat, pemerintahan akan kehilangan akuntabilitasnya. Indeks Demokrasi (Democracy Index/DI) mengukur sejauh mana kebebasan sipil, kebebasan pers, serta transparansi dan akuntabilitas politik berjalan dalam sebuah negara.

Democracy Index diukur oleh Economist Intelligence Unit sejak tahun 2006. Pemerintahan yang demokratis memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan, menciptakan checks and balances, serta memastikan bahwa kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-wenang.

Demokrasi yang kuat melahirkan kebijakan yang lebih inklusif dan lebih berpihak pada rakyat.

4. Pembangunan Manusia: Bagaimana Pemerintah Meningkatkan Kualitas Hidup Rakyatnya?

Pemerintahan yang baik harus memiliki tujuan utama: meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Indeks pembangunan manusia (human development index/HDI) menjadi ukuran utama untuk melihat seberapa baik suatu negara dalam memberikan akses terhadap pendidikan. Juga dalam memberi layanan kesehatan, dan peluang ekonomi bagi warganya.

HDI diukur oleh UNDP, PBB sejak 1990. Negara dengan HDI tinggi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh segelintir elit. Ia juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.

5. Keberlanjutan Lingkungan: Bagaimana Negara Menjaga Sumber Daya Alamnya?

Pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan.

Indeks kinerja lingkungan (environmental performance index/EPI) menjadi ukuran penting dalam melihat bagaimana pemerintah menangani polusi udara. Juga bagaimana konservasi pemerintah atas keanekaragaman hayati, serta transisi menuju energi hijau.

EPI diukur oleh Yale University sejak tahun 2006. Negara yang mengabaikan lingkungan hanya akan menuai krisis di masa depan. Banjir, krisis pangan, dan bencana alam yang semakin sering terjadi adalah konsekuensi dari kebijakan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan.

Pemerintahan yang baik harus mampu menyeimbangkan pembangunan dengan perlindungan lingkungan.

6. Digitalisasi Pemerintahan: Seberapa Maju Negara dalam Menerapkan Teknologi dalam Layanan Publik?

Di era modern, tata kelola pemerintahan yang baik tidak bisa lepas dari digitalisasi. Indeks Pembangunan e-Government (E-Government Development Index - EGDI) mengukur bagaimana suatu negara memanfaatkan teknologi dalam meningkatkan efisiensi layanan publik.

Sekaligus juga E-Govt meningkatkan transparansi pemerintahan, serta keterlibatan warga negara dalam proses politik.

EDGI diukur oleh UN DESA, PBB sejak tahun 2003. Negara-negara dengan skor EGDI tinggi mampu menyediakan layanan publik yang lebih cepat, lebih transparan, serta mengurangi peluang korupsi dengan sistem berbasis data yang terbuka.

E-government juga menjadi kunci dalam menghadapi tantangan global seperti pandemi dan disrupsi ekonomi.

Mengapa Enam Indeks Ini Dikombinasikan LSI Denny JA menjadi Indeks Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance Index/GGI)?

Pemerintahan bukanlah entitas yang berdiri dalam satu dimensi saja. Efektivitas pemerintahan tanpa demokrasi akan melahirkan otoritarianisme.

Demokrasi tanpa pemberantasan korupsi akan menjadi rapuh. Pembangunan manusia tanpa perhatian pada lingkungan akan berujung pada bencana ekologis.

Enam indeks ini bukan hanya sekadar alat ukur, tetapi refleksi dari bagaimana negara seharusnya dikelola. LSI Denny JA menyatukan enam aspek ini dalam satu Indeks Besar GGI untuk memberikan gambaran menyeluruh.

GGI itu cermin bagaimana sebuah negara menjalankan kekuasaannya dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat.

Dengan mengombinasikan enam indeks ini, GGI menjadi alat ukur yang lebih lengkap dibandingkan indeks-indeks lainnya yang hanya melihat satu aspek dalam tata kelola pemerintahan.

Tantangan pemerintahan modern tidak lagi hanya soal bagaimana negara dikelola, tetapi juga bagaimana negara mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan global.

Dari perubahan iklim, disrupsi digital, hingga ancaman populisme politik, semuanya membutuhkan pemerintahan yang tangguh, transparan, dan inovatif.

GGI hadir bukan hanya untuk mencerminkan realitas saat ini, tetapi juga untuk menjadi peta jalan bagi negara yang ingin memperbaiki tata kelolanya di masa depan.

-000-

Setelah mempertimbangkan keterkaitan antara efektivitas pemerintahan, transparansi, demokrasi, kesejahteraan rakyat, lingkungan, dan digitalisasi birokrasi, bobot yang digunakan dalam GGI adalah sebagai berikut.

Bobot ini bukan hanya angka, tetapi refleksi dari urgensi masing-masing dimensi dalam membangun pemerintahan yang baik.

LSI Denny JA memilih pembobotan dan alasan ini.

1. Efektivitas Pemerintahan: Fondasi Tata Kelola yang Baik (25 persen)

Indeks Efektivitas Pemerintahan (GEI) mendapatkan bobot tertinggi, 25 persen.

Itu karena tanpa efektivitas dalam birokrasi dan pelaksanaan kebijakan, seluruh dimensi lainnya tidak akan berdampak maksimal.

Pemerintahan yang bersih tetapi tidak efektif tetap tidak akan mampu mengelola negara dengan baik.

Demokrasi tanpa pemerintahan yang efektif hanya akan menghasilkan kebijakan yang macet di birokrasi.

Bahkan pembangunan manusia pun tidak akan berjalan tanpa efektivitas dalam layanan publik.

Negara-negara dengan GEI tinggi seperti Singapura dan Swiss menunjukkan bahwa pemerintahan yang efektif tidak hanya menghasilkan kebijakan yang cerdas. Ia juga mampu mengeksekusi kebijakan tersebut dengan baik dan cepat.

2. Pemberantasan Korupsi: Menghilangkan Hambatan Utama Tata Kelola (20 persen)

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) memiliki bobot 20 persen, karena korupsi merupakan hambatan terbesar dalam menjalankan pemerintahan yang baik.

Korupsi bukan sekadar permasalahan etis, tetapi juga memiliki dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan kepercayaan publik.

Negara dengan korupsi tinggi akan kesulitan menarik investasi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menjalankan program sosial yang efektif.

Negara-negara dengan skor CPI tinggi cenderung lebih stabil, lebih mampu menjalankan kebijakan ekonomi jangka panjang, dan lebih dipercaya oleh masyarakatnya.

Oleh karena itu, pemberantasan korupsi adalah faktor fundamental dalam membangun tata kelola yang baik.

3. Digitalisasi Pemerintahan: Masa Depan Tata Kelola yang Transparan dan Efektif (15 persen)

Indeks Pembangunan e-Government (EGDI) mendapatkan bobot 15 persen, karena di era modern, digitalisasi bukan sekadar alat bantu.

Digitalisasi menjadi pilar utama dalam tata kelola pemerintahan yang lebih efisien dan transparan.

Negara-negara dengan sistem pemerintahan berbasis digital memiliki:

✔ Layanan publik yang lebih cepat dan lebih efisien.

✔ Pengurangan potensi korupsi dengan sistem yang lebih transparan.

✔ Partisipasi warga yang lebih tinggi dalam pengambilan keputusan.

Negara-negara seperti Denmark dan Korea Selatan telah membuktikan bahwa transformasi digital dalam pemerintahan dapat meningkatkan efektivitas kebijakan dan membangun kepercayaan publik.

Oleh karena itu, EGDI diberikan bobot yang sama dengan HDI dan DI, karena dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat dan demokrasi semakin signifikan.

4. Demokrasi Indeks: Menjamin Transparansi dan Akuntabilitas (15 persen)

Indeks Demokrasi (DI) diberi bobot 15 persen, karena tanpa demokrasi, tata kelola pemerintahan akan kehilangan transparansi dan akuntabilitasnya.

Demokrasi memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Negara yang demokratis cenderung lebih stabil secara politik, lebih terbuka terhadap kritik, dan lebih cepat dalam memperbaiki kesalahan kebijakan (self correcting system).

Namun, demokrasi saja tidak cukup. Banyak negara demokratis yang masih memiliki korupsi tinggi dan pemerintahan yang tidak efektif.

Oleh karena itu, demokrasi dalam GGI diberikan bobot yang signifikan, tetapi tetap diimbangi dengan efektivitas pemerintahan dan pemberantasan korupsi.

5. Pembangunan Manusia: Seberapa Baik Negara Mensejahterakan Warganya? (15 persen)

Indeks Pembangunan Manusia (HDI) memiliki bobot 15 persen, karena pemerintahan yang baik harus memiliki tujuan akhir: meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

HDI mengukur akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pendapatan nasional per kapita. Negara-negara dengan skor HDI tinggi menunjukkan pembangunan ekonomi berjalan seiring dengan peningkatan kualitas hidup rakyatnya.

Namun, tanpa pemerintahan yang efektif dan bebas dari korupsi, HDI akan sulit meningkat secara signifikan.

Oleh karena itu, meskipun HDI adalah ukuran penting, bobotnya tidak sebesar efektivitas pemerintahan dan CPI. Itu karena faktor-faktor lain masih sangat mempengaruhi skor HDI suatu negara.

6. Lingkungan: Menjaga Masa Depan Generasi Mendatang (10 persen)

Indeks Kinerja Lingkungan (EPI) diberikan bobot 10 persen, karena meskipun penting, dalam konteks tata kelola pemerintahan, faktor lingkungan masih sering berada di bawah prioritas efektivitas pemerintahan dan pemberantasan korupsi.

Namun, negara-negara dengan tata kelola yang baik cenderung memiliki kebijakan lingkungan yang lebih progresif. Pemerintah yang efektif dan bebas korupsi lebih mungkin mengalokasikan anggaran yang tepat untuk kebijakan lingkungan dan transisi energi hijau.

Oleh karena itu, meskipun EPI penting, bobotnya lebih kecil dibandingkan indikator lainnya.

Namun, peran lingkungan dalam kebijakan jangka panjang tidak bisa diabaikan, terutama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.

-000-

GGI tidak hanya menilai kondisi dalam negeri, tetapi juga membandingkan Indonesia dengan tiga negara maju di Asia: Singapura, Jepang, dan Korea Selatan.

Pada waktunya, GGI dapat dibuat setiap tahun untuk mengukur lebih dari 150 negara  dari lima benua, di seluruh dunia.

A) Korupsi: Luka yang Tak Kunjung Sembuh

Korupsi tetap menjadi momok besar dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI), Indonesia hanya memperoleh skor 34, jauh di bawah Singapura (83), Jepang (73), dan Korea Selatan (63).

Skor ini mencerminkan bagaimana korupsi masih menjadi hambatan utama dalam birokrasi dan kebijakan publik.

Ketika dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan justru mengalir ke kantong segelintir elit, rakyatlah yang paling dirugikan.

Negara-negara dengan CPI tinggi, seperti Denmark dan Finlandia, telah membuktikan bahwa pemerintahan yang bersih berbanding lurus dengan layanan publik yang berkualitas serta stabilitas ekonomi yang kuat.

B) Efektivitas Pemerintahan: Antara Kebijakan dan Realita

Sebuah kebijakan tidak hanya dinilai dari seberapa banyak aturan yang dibuat, tetapi dari seberapa efektif aturan tersebut diimplementasikan.

Dalam Indeks Efektivitas Pemerintahan (GEI), Indonesia memperoleh skor 0,58, tertinggal dari Korea Selatan (1,4), Jepang (1,63), dan Singapura (2,32).

Efektivitas pemerintahan bukan hanya tentang perumusan kebijakan, tetapi bagaimana birokrasi mampu menjalankan kebijakan tersebut dengan cepat, transparan, dan efisien.

Negara seperti Singapura telah berhasil membangun sistem pemerintahan yang hampir tanpa hambatan birokrasi, dengan pelayanan publik yang cepat dan berbasis teknologi.

C) Demokrasi: Pilar Transparansi dan Akuntabilitas

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara demokratis terbesar di dunia. Namun, apakah demokrasi yang kita jalankan sudah mencerminkan transparansi dan akuntabilitas yang kuat?

Dalam Indeks Demokrasi (DI), Indonesia memperoleh skor 6,53, lebih tinggi dari Singapura (6,18), tetapi masih tertinggal dari Korea Selatan (8,4), dan Jepang (8,09).

Meskipun demokrasi di Indonesia telah berkembang sejak era reformasi, banyak tantangan yang masih harus diatasi, mulai dari lemahnya oposisi hingga praktik politik uang yang masih mewarnai pemilihan umum.

Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mampu menjadi alat penyeimbang antara kekuasaan dan kepentingan rakyat.

E) Pembangunan Manusia: Seberapa Sejahtera Rakyat?

Kemajuan suatu negara tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonominya, tetapi dari kualitas hidup rakyatnya.

Dalam Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Indonesia mencatat skor 0,713, masih jauh tertinggal dari Korea Selatan (0,929), Jepang (0,92), dan Singapura (0,949).

Ketimpangan dalam akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan masih menjadi tantangan besar bagi Indonesia.

Negara-negara dengan HDI tinggi telah mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Di Indonesia, kualitas pendidikan dan kesehatan masih perlu ditingkatkan agar bisa sejajar dengan negara-negara maju.

F) Kinerja Lingkungan: Masa Depan yang Terancam?

Lingkungan hidup menjadi salah satu isu global yang semakin mendesak. Dalam Indeks Kinerja Lingkungan (EPI), Indonesia memperoleh skor yang sangat rendah, hanya 28,2, jauh di bawah Singapura (50,9), Jepang (59,6), dan Korea Selatan (46,9).

Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Tetapi ironisnya, keberlanjutan lingkungan masih sering dikorbankan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

Deforestasi, pencemaran air dan udara, serta minimnya komitmen dalam transisi energi hijau menjadi tantangan yang harus segera diatasi.

G) e-Government: Menuju Digitalisasi Birokrasi

Era digital telah mengubah cara pemerintahan bekerja. Negara-negara maju telah berinvestasi besar dalam transformasi digital untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.

Dalam Indeks Pembangunan e-Government (EGDI), Indonesia memperoleh skor 0,7991, masih tertinggal dari Korea Selatan (0,9679), Jepang (0,9351), dan Singapura (0,9691).

Digitalisasi birokrasi menjadi salah satu kunci utama dalam membangun pemerintahan yang lebih cepat, lebih murah, dan lebih efisien.

Negara-negara dengan skor EGDI tinggi telah membuktikan bahwa teknologi dapat meningkatkan efektivitas pelayanan publik dan mengurangi peluang korupsi.

Jika keseluruhan itu dibobot dan digabung dalam satu indeks saja: GGI, yang dikembangkan LSI Denny JA, ini hasilnya.

Hasil Good Governance Index (GGI) 2024 yang dikembangkan oleh LSI Denny JA adalah sebagai berikut:

•      Indonesia: 53,17

•      Korea Selatan: 79,44 

•      Jepang: 84,11

•      Singapura: 87,23

Skor ini menegaskan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan di Indonesia.

Korupsi yang merajalela, birokrasi yang lamban, demokrasi yang belum sepenuhnya transparan, ketimpangan sosial yang tinggi, dan kebijakan lingkungan yang lemah adalah tantangan nyata yang harus dihadapi.

-000-

Tiga studi kasus akan dipaparkan.  Kasus pertama: Singapura contoh negara yang berhasil melompat menjadi kekuatan ekonomi global melalui pemberantasan korupsi besar-besaran.

Pada 1960-an, negara ini menghadapi masalah korupsi sistemik yang menghambat pertumbuhan.

Namun, di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, Singapura mengadopsi kebijakan nol toleransi terhadap korupsi.

Pemerintah membentuk Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), sebuah lembaga independen yang memiliki kewenangan luas untuk menyelidiki dan menindak korupsi, tanpa pandang bulu.

Hukuman berat bagi pelaku korupsi, reformasi birokrasi. Lee Kwan Yew juga meningkatkan  transparansi dalam tata kelola negara, untuk menciptakan sistem yang bersih dan efisien.

Hasilnya, Singapura berkembang pesat menjadi pusat keuangan dan perdagangan dunia. Stabilitas politik dan kepastian hukum menarik investasi asing, meningkatkan daya saing ekonomi.

Singapura bahkan menjadi salah satu negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) tertinggi di dunia. Ini menunjukkan keberhasilan model tata kelola yang bersih dan transparan.

-000-

Studi kasus kedua adalah India. India dan Aadhaar: Revolusi Identitas Digital dalam Tata Kelola Negara

Di tengah hiruk-pikuk birokrasi yang berbelit, India menemukan terobosan. Aadhaar, sistem identitas digital terbesar di dunia, mengubah cara negara ini melayani rakyatnya.

Sebelum Aadhaar, banyak warga miskin di desa-desa terpencil tidak memiliki identitas resmi. Mereka hidup dalam bayang-bayang, tak bisa mengakses bantuan sosial, layanan kesehatan, bahkan membuka rekening bank.

Pemerintah India meluncurkan Aadhaar pada 2009. Setiap warga diberikan nomor identitas unik berbasis biometrik: sidik jari, pemindaian retina, dan data wajah.

Dalam waktu kurang dari satu dekade, lebih dari 1,3 miliar orang telah terdaftar. Negara yang dahulu dipenuhi dokumen fisik kini bergerak menuju digitalisasi penuh.

Dampaknya luar biasa. Korupsi dalam distribusi bantuan sosial berkurang drastis. Dana yang sebelumnya bocor ke tangan perantara kini langsung masuk ke rekening penerima.

Petani mendapatkan subsidi tanpa calo. Pekerja informal bisa membuka rekening bank tanpa harus menyuap pejabat lokal. Aadhaar menjadi pintu menuju inklusi keuangan bagi miliaran orang.

Namun, Aadhaar bukan tanpa kritik. Kekhawatiran soal privasi dan keamanan data muncul. Apakah negara terlalu berkuasa dengan akses terhadap informasi pribadi setiap warga? Apakah sistem ini bisa disalahgunakan?

Di sinilah letak dilema peradaban digital. Aadhaar adalah cermin masa depan, ketika teknologi bisa menjadi alat pemberdayaan, atau justru alat kontrol yang mengekang.

India memilih melompat. Dunia memperhatikan.

-000-

Studi kasus ketiga: Korea Selatan investasi pendidikan. Lompatan Korea Selatan: Dari Kemiskinan ke Negeri Teknologi

Pada 1960-an, Korea Selatan berdiri di ambang keterpurukan. Negara ini lebih miskin dari Ghana, dengan infrastruktur yang hancur akibat perang.

Tetapi di tengah reruntuhan, ada sebuah keputusan besar: membangun manusia sebelum membangun gedung-gedung tinggi.

Pemerintah memulai dengan revolusi pendidikan. Setiap anak harus bersekolah. Kurikulum diubah untuk fokus pada sains, teknologi, dan matematika.

Pendidikan tidak hanya gratis, tetapi juga menjadi jalan utama bagi mereka yang ingin keluar dari kemiskinan. Guru dijadikan profesi paling dihormati, dan gajinya disetarakan dengan pejabat tinggi negara.

Di tahun 1970-an, strategi berubah. Pemerintah menghubungkan pendidikan dengan industri. Universitas bekerja sama dengan perusahaan seperti Samsung dan Hyundai.

Para insinyur muda tidak hanya diajari teori, tetapi juga praktik di pabrik dan laboratorium. Negara ini tidak sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi mencetak manusia-manusia unggul yang siap menciptakan inovasi sendiri.

Lalu, tahun 1990-an menjadi era transformasi digital. Internet masuk ke sekolah-sekolah. Pemerintah mengembangkan e-government, membuat birokrasi lebih cepat, transparan, dan efisien.

Korea Selatan tidak hanya mencetak pekerja, tetapi pemikir, pencipta, dan pemimpin di bidang teknologi.

Kini, Korea Selatan memimpin dunia dalam teknologi, semikonduktor, dan industri kreatif. Dari negara miskin menjadi pusat inovasi global. Bukti bahwa membangun manusia adalah kunci membangun peradaban.

Sebagaimana pepatah Korea: “Jika kau ingin panen setahun, tanam padi. Jika kau ingin panen seabad, didiklah manusia.”

-000-

Untuk Indonesia, perbaikan tata kelola pemerintahan bisa dimulai dari mana saja.  Kasus Pertamina “Pertamax Oplos” dapat sebagai titik tolak.

Bagaimana opini publik di media sosial meributkan  kasus korupsi di Pertamina Patra Niaga.

LSI Denny JA menggunakan dua metode utama dalam riset ini:

1.    Analisis Sentimen. Menggunakan Aplikasi LSI Internet untuk menganalisis percakapan di media online dan media sosial.

•      Kata kunci yang digunakan: “Korupsi Pertamina” dan “Pertamax”.

•      Data dikumpulkan dari berbagai platform: Facebook, Twitter (X), YouTube (video), TikTok, berita online, podcast, blog, dan web. Periode riset: 23 Februari - 4 Maret 2025.

2.    Social Network Analysis (SNA).

•      Menggunakan NodeXL untuk memvisualisasikan dan menganalisis jaringan percakapan di Twitter (X).

•      Scraping dilakukan dengan Python menggunakan kata kunci “Pertamina”.

•      Parameter utama yang diukur: sentralitas jaringan, konektivitas akun, dan kepadatan interaksi dalam percakapan terkait isu Pertamina.

Apa hasilnya?

Persepsi negatif terhadap Pertamina sangat kuat, dengan hampir 95 persen percakapan bersentimen negatif.

Media sosial berperan besar dalam penyebaran isu ini, terutama TikTok dan Twitter.

Kasus ini bukan hanya perbincangan elit, tetapi juga menyebar ke masyarakat luas, terbukti dari akun-akun non-politik yang menjadi pusat percakapan.

Dampaknya bisa merusak kepercayaan publik terhadap Pertamina dan pemerintah, terutama jika tidak ada langkah konkret untuk mengatasi isu ini.

Prabowo Subianto memiliki peluang strategis untuk memperkuat kepercayaan publik dengan menjadikan kasus korupsi Pertamina sebagai momentum reformasi tata kelola pemerintahan.

-000-

Tata kelola pemerintahan yang baik bukan sekadar wacana, melainkan syarat mutlak bagi sebuah negara yang ingin melompat ke level kemajuan yang lebih tinggi.

Indonesia, dengan segala potensinya, kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ada ambisi besar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen, menarik investasi global, dan membangun infrastruktur sosial yang lebih inklusif.

Namun di sisi lain, hambatan lama masih menghantui: korupsi yang mengakar, birokrasi yang lamban, serta tata kelola yang belum sepenuhnya transparan.

Good Governance Index (GGI) yang dikembangkan oleh LSI Denny JA hadir sebagai cermin sekaligus peta jalan bagi Indonesia.

Dengan enam indeks utama: Efektivitas Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi, Demokrasi, Pembangunan Manusia, Keberlanjutan Lingkungan, dan Digitalisasi Pemerintahan, GGI memberikan gambaran komprehensif tentang di mana kita berada dan ke mana kita harus melangkah.

Namun, lebih dari sekadar angka dan peringkat, GGI panggilan untuk bertindak. Ia menunjukkan tanpa efektivitas pemerintahan, kebijakan hanya akan menjadi dokumen tanpa dampak nyata.

Tanpa pemberantasan korupsi, segala bentuk pembangunan akan terhambat oleh kebocoran anggaran dan penyalahgunaan kekuasaan.

Tanpa demokrasi, rakyat kehilangan suara dalam menentukan masa depan mereka sendiri.

Tanpa pembangunan manusia, pertumbuhan ekonomi hanya akan dinikmati oleh segelintir elit.

Tanpa keberlanjutan lingkungan, kemajuan hari ini akan menjadi beban bagi generasi mendatang.

Dan tanpa digitalisasi birokrasi, kita akan tertinggal dalam dunia yang semakin berbasis teknologi.

Prabowo Subianto memiliki peluang besar untuk mencetak sejarah sebagai pemimpin yang membangun fondasi tata kelola yang bersih dan efektif.

Ia dapat menjadikan momen ini sebagai awal dari era baru pemerintahan yang transparan, cepat, dan berpihak pada rakyat.

Namun, tanpa reformasi besar-besaran dalam tata kelola, semua gebrakan Prabowo itu akan terperangkap dalam sistem yang belum cukup siap untuk menanggung beban perubahan besar.

“Dulu, di desa terpencil, Budi hanya bocah kurus beralas kaki lumpur, berjuang melawan lapar dan gelap.

Akankah uluran tangan pemerintah membuka pintu sekolah gratis, makan siang bergizi, kesehatan gratis, memberinya cahaya masa depan?

Sepuluh tahun ke depan, akankah Budi kembali, berdiri tegap di jembatan yang dibangunnya, menyatukan desa dengan dunia luar?

Dari kemiskinan, akankah ia bangkit, menjadi harapan bagi anak-anak kecil yang dulu seperti dirinya, bermimpi di antara sawah dan senja?”

Momen ini adalah peluang, tetapi juga ujian. Apakah Indonesia akan menerobos belenggu tata kelola yang lemah dan menuju pemerintahan yang lebih bersih, lebih efektif, dan lebih maju?

Ataukah kita akan kembali terjebak dalam lingkaran stagnasi dan kehilangan kesempatan emas ini?

Sejarah akan mencatat jawabannya.

“Kita tidak bisa mengubah arah angin, tetapi kita bisa menyesuaikan layar untuk mencapai tujuan.” – Aristoteles ***

Jakarta, 11 Maret 2025

Halaman:

Berita Terkait