Catatan Denny JA: Khotbah Filsafat Hidup Lewat Lagu, Inspirasi Film Bob Dylan A Complete Unknown (2024)
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 02 Maret 2025 10:27 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Mengapa seorang penulis lagu bisa meraih Nobel Sastra? Apa yang membuat Bob Dylan, seorang penyanyi dengan suara serak dan gitar tua, melampaui semua penghargaan yang pernah diterima musikus lain? (1)
Dan mengapa dalam daftar 500 lagu terbaik sepanjang masa versi Rolling Stone (2004), “Like a Rolling Stone” karya Bob Dylan menempati peringkat pertama?
Pertanyaan ini lama mengendap di kepala saya. Bertahun-tahun saya bertanya: apa yang sesungguhnya istimewa dari Dylan?
Lalu datanglah momen itu. Saya menonton film A Complete Unknown (2024). Film ini menjadi salah satu nominasi Oscar 2025 untuk kategori terbaik.
Seharian saya tenggelam dalam jejak hidup Dylan. Saya menyimak wawancaranya di 60 Minutes, mendengar lirik-liriknya, mencoba menangkap kedalaman yang membuatnya begitu berpengaruh.
Saya teringat masa SMP, tahun 1970-an. Saat itu, saya dan grup vokal sekolah sedang latihan untuk lomba menyanyi. Guru kami memilih lagu Blowin’ in the Wind, karya Bob Dylan.
Saat itu, asyik saja kami bernyanyi tapi tak mengerti arti liriknya yang metaforis. Baru sepuluh tahun kemudian, ketika duduk di bangku kuliah, saya benar-benar memahami makna liriknya.
Dunia musik telah melahirkan banyak ikon. Tapi Dylan bukan sekadar musisi. Ia adalah penyair jalanan, seorang filsuf yang melantunkan firman lewat folk dan rock.
Suaranya serak, nyaris seperti keluhan angin di padang luas. Tapi justru dari suara itulah, yang tak merdu itu, kedalaman hidup mekar dari lirik lagunya.
Baca Juga: Inilah Pengantar dari Denny JA Untuk Buku Culture and Politics in Sumatra and Beyond
Ketika A Complete Unknown mulai bergulir di layar, saya tahu ini bukan sekadar kisah tentang seorang bintang. Ini adalah perjalanan seorang seniman yang menantang zamannya, menerobos batasan konvensional.
Ini kisah tentang pencipta yang menuliskan sejarah dengan petikan gitar dan lirik yang lebih tajam dari pedang.
-000-
Baca Juga: Orasi Denny JA: Renungan Moral dari 29 Guru Sufi dan Pemikir
Film ini digarap oleh James Mangold, sutradara yang berulang kali menangkap pergulatan batin manusia dalam layar lebar. Ia pernah menghidupkan kisah Johnny Cash dalam Walk The Line (2005).
Namun A Complete Unknown bukan biopik biasa. Ini bukan sekadar kronologi kehidupan Dylan. Film ini seperti mozaik: kepingan-kepingan kegelisahan, pemberontakan, dan metamorfosis seorang penyanyi folk menjadi ikon budaya yang tak tertebak.
Timothée Chalamet memerankan Dylan dengan subtilitas yang mencengangkan. Ia tidak sekadar meniru gestur atau suara, tapi menangkap esensi Dylan. Yaitu sikapnya yang selalu ingin lari dari label apa pun yang diberikan dunia kepadanya.
Chalamet memerankan Dylan seperti Rami Malek memerankan Freddie Mercury. Terasa seni perannya begitu mendalam hingga batas antara aktor dan karakter mengabur. Ia pun dinominasikan untuk Aktor Terbaik Oscar 2025.
Bob Dylan datang ke New York pada awal 1960-an seperti seorang musafir yang berjalan tanpa peta. Ia hanya membawa gitar dan hasrat yang membara dalam dirinya.
Ia bukan siapa-siapa. Seorang pemuda kurus dari Minnesota yang suaranya serak, gitarnya sederhana, dan namanya pun bukan asli.
Robert Allen Zimmerman memilih membuang identitas lamanya, menamai dirinya Bob Dylan. Ini sebuah nama yang kelak mengubah sejarah musik dan sastra dunia.
Tapi sebelum dunia mengenalnya, ia datang dengan satu tujuan: menemui Woody Guthrie. Ini raja folk yang sakit keras, terbaring di rumah sakit dengan tubuh yang tak lagi bertenaga, tetapi jiwanya tetap bernyanyi.
Guthrie adalah nabi bagi kaum tertindas, suara dari padang tandus Amerika. Ia seorang yang memahami derita buruh, petani, dan mereka yang kehilangan rumah di tengah kemewahan kota.
Dylan duduk di sampingnya, memandang idolanya dengan penuh takzim. Ia memainkan lagu untuknya. Bahkan Dylan membuat sebuah lagu untuknya.
Dylan tidak sedang mencari pujian, melainkan sebagai persembahan bagi seseorang yang telah mengajarkannya makna keberanian dalam musik. Lagu itu kelak menjadi manifestonya sendiri, sebuah langkah pertama menuju takdir yang akan menjadikannya legenda.
-000-
Dari rumah sakit itu, Dylan membawa pulang semangat Guthrie ke jalanan New York, ke kafe-kafe kecil di Greenwich Village yang dipenuhi kaum bohemian, penyair mabuk, dan seniman tanpa tujuan.
Di sanalah ia menemukan suaranya sendiri. Ia tidak hanya menyanyikan lagu-lagu tentang cinta atau kehilangan, tetapi juga tentang perang, ketidakadilan, dan harapan.
Kemunculannya di panggung-panggung kecil mulai menarik perhatian. Ia tidak tampan seperti bintang Hollywood, suaranya pun tidak merdu seperti penyanyi lainnya.
Tapi ia memiliki sesuatu yang lebih tajam: lirik yang menusuk dan ketulusan yang tak bisa dibeli. Lagu-lagunya seperti nyanyian kenabian yang menggema di antara generasi yang haus akan makna.
Tak butuh waktu lama sebelum dunia memperhatikannya. Album-albumnya mulai meledak, suaranya menjadi suara zaman, dan Dylan menjadi raja folk akustik.
Di setiap sudut kota, orang-orang menyanyikan Blowin’ in the Wind, bertanya-tanya kapan dunia akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung usai.
Tapi Dylan tidak pernah mau tinggal dalam satu bentuk. Ia seperti sungai yang selalu mengalir, tidak ingin menjadi patung yang disembah. Dan itu yang membuatnya berbeda.
-000-
Pada tahun 1965, dunia musik menyaksikan pengkhianatan terbesar. Atau begitulah yang dipikirkan para pengikut setianya.
Dylan yang selama ini dikenal dengan gitar akustiknya, tiba-tiba muncul di panggung Newport Folk Festival dengan gitar listrik. Dentuman drum dan suara listrik menggema, menghancurkan kesunyian yang selama ini mengitari musiknya.
Para penggemarnya terkejut. Mereka mencintainya sebagai suara rakyat, suara kesederhanaan, suara kebenaran yang murni tanpa manipulasi teknologi.
Tapi kini, Dylan berdiri dengan amplifikasi penuh, masuk ke dunia rock and roll yang dianggap komersial dan penuh kepalsuan.
Sorakan protes bercampur dengan suara gitar listriknya. Dylan tidak peduli. Ia tidak pernah berniat menjadi pahlawan yang mereka inginkan. Ia ingin terus berubah, terus tumbuh, terus menantang batasan yang mereka coba paksakan padanya.
Dari seorang pemuda pengembara folk, ia kini menjadi ikon revolusi musik. Lagu-lagunya semakin berani, suaranya semakin lantang, dan dunianya semakin luas.
-000-
Namun ada satu hal yang tak pernah benar-benar dipahami oleh dunia: Dylan sebagai manusia.
Ia tidak hanya mengganti aliran musiknya. Ia juga mengganti identitasnya, berkali-kali. Namanya, gaya hidupnya, caranya berbicara. Semuanya berubah sesuai dengan perjalanannya.
Ia adalah sosok yang misterius, sulit dipahami, seperti puisi yang maknanya terus berubah tergantung dari mana kita membacanya.
Di tengah ketenarannya, ia juga jatuh cinta. Joan Baez, ratu folk yang suaranya seperti kaca yang pecah dalam keindahan, menjadi bagian dari hidupnya selama empat tahun.
Mereka berbagi panggung, berbagi mimpi, berbagi lagu yang menjadikan mereka legenda.
Tapi Dylan bukanlah seseorang yang bisa ditahan oleh cinta. Ia bukan pujangga yang menulis soneta untuk satu hati selamanya.
Suatu hari, ia menulis lagu yang menjadi perpisahan: It Ain’t Me, Babe.
“Pergilah dari jendelaku, lenyaplah dalam malam yang pekat. Aku bukan dia, bukan aku yang kau cari.”
Dan begitu saja, ia pergi. Seperti angin yang tidak bisa dikurung dalam botol, seperti sungai yang tidak bisa ditahan dalam wadah kecil.
Ia terus berjalan, mencari sesuatu yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu.
-000-
Dylan tidak pernah benar-benar kembali ke folk. Ia tidak menyesali pilihannya. Ia tidak meminta maaf atas perubahan yang ia buat.
Ia mengajarkan dunia bahwa seorang seniman bukanlah milik siapa pun. Ia bukan milik penggemarnya, bukan milik zamannya, bahkan bukan milik dirinya sendiri.
Ia hanya suara yang bergema, mencari bentuk baru, mencari cara baru untuk menceritakan kisah lama dengan warna yang berbeda.
Bob Dylan, seperti yang selalu ia lakukan, tetap menjadi misteri. Seorang pengembara dalam musik, seorang penyair tanpa peta, seorang pemberontak yang bahkan tidak tahu apa yang ia tentang.
Dan mungkin, justru karena itu, ia akan selalu abadi.
-000-
Jika Dylan adalah filsuf, maka lagu-lagunya adalah kitab suci jalanan.
Dalam film ini, banyak lagu Dylan yang dinyanyikan. Tapi saya hanya ingin membahas satu lagu saja: Like A Rolling Stone. Frasa dari lagu inilah yang menjadi judul film A Complete Unknown.
Ini nyanyian yang menyingkap lebih dari sekadar melodi, melainkan juga filsafat hidup. Tak heran, lagu ini ditempatkan sebagai ranking pertama dari 500 lagu berpengaruh di dunia.
Lagu ini berkisah tentang pola hidup yang selalu berulang dalam peradaban manusia. Tentang mereka yang pernah berjaya, pernah berada di puncak dunia, menikmati segala keistimewaan. Tapi pada suatu hari, semua itu direnggut tanpa belas kasih.
Like a Rolling Stone bukan sekadar lagu. Ia adalah elegi bagi mereka yang jatuh dari singgasana, bagi mereka yang kehilangan nama, bagi mereka yang tiba-tiba harus berdiri sendirian di tengah jalanan yang asing.
Dylan memulai lagu ini dengan gambaran masa lalu yang gemilang. Ada seseorang yang dulu berpakaian indah, berjalan angkuh di jalanan kota, melempar koin kepada para gelandangan seperti dewa yang menurunkan belas kasihnya.
Saat itu, dunia seolah dalam genggamannya. Tak ada yang berani meragukan kekuasaannya. Ia tertawa ketika orang-orang memperingatkannya, menganggap mereka hanya orang bodoh yang tak mengerti takdirnya.
Baginya, keberuntungan adalah hak, sesuatu yang tak akan pernah pudar. Namun waktu, seperti biasa, memainkan perannya.
Hari-hari penuh kemewahan itu berakhir. Kini, ia tak lagi bicara dengan suara lantang. Tak ada lagi kebanggaan yang tersisa.
Ia harus berjuang hanya untuk menemukan sesuap makanan. Dulu, semua pintu terbuka untuknya. Kini, bahkan jalan pun terasa begitu asing.
Dylan lalu melontarkan pertanyaan yang menikam:
Bagaimana rasanya? Bagaimana rasanya berdiri sendiri, tanpa arah pulang, tanpa satu pun orang yang mengenalmu, seperti batu yang terus berguling tanpa akar?
Tidak ada tempat untuk kembali. Tidak ada tangan yang terulur. Dunia yang dulu mengeluk-elukkan namanya kini tak lagi peduli.
Dulu, kau berpakaian begitu indah
Melemparkan sekeping koin kepada para gelandangan di masa jayamu.
Orang-orang memperingatkan, ‘Hati-hati, kau pasti akan jatuh’
Tapi kau pikir mereka hanya pandir.
Kini kau tak lagi bicara dengan suara lantang
Kini kau tak lagi terlihat begitu bangga
Saat kau harus mengemis untuk makanan berikutnya.”
Bagaimana rasanya?
Hidup sendirian
Tanpa arah pulang
Seperti seseorang yang tak dikenal
Seperti batu yang terus berguling?”
Dulu kau menunggang kuda besi bersama diplomatmu
Yang membawa kucing Siam di bahunya.
Bukankah menyakitkan saat kau akhirnya menyadari.
Bahwa dia sebenarnya bukan seperti yang kau kira.
Setelah dia mengambil darimu segala yang bisa ia curi?”
Lagu ini bukan hanya sekadar narasi tentang kejatuhan. Ia juga tentang pengkhianatan.
Dulu, ada kawan-kawan berpengaruh yang selalu mendampinginya, para diplomat dengan jas mewah, para petinggi yang menyeringai sambil memelihara kucing anggora di bahu mereka.
Tapi semua itu hanya ilusi. Saat segalanya direnggut, mereka pun pergi, meninggalkan dirinya terkapar dalam kehampaan.
Dan betapa menyakitkan ketika kesadaran itu tiba. Ketika ia akhirnya mengerti bahwa mereka yang dulu ia percayai ternyata hanya pencuri yang mengambil segalanya. Bahwa dunia yang selama ini ia pijak hanyalah fatamorgana.
-000-
Ketika film selesai, saya merasa seperti baru saja mendengarkan sebuah khotbah.
Tapi ini bukan khotbah dari altar atau mimbar. Ini khotbah dari panggung konser yang dipenuhi kabut rokok dan sorakan penonton.
Bob Dylan mengajarkan kita bahwa hidup adalah perjalanan tanpa peta. Tidak ada jawaban pasti, tidak ada rumah yang benar-benar tetap.
Kita semua seperti batu yang berguling. Kita terkadang terluka, tapi terus bergerak. Karena diam berarti mati.
Di dunia yang terus berubah, kita hanya memiliki dua pilihan: ikut bergerak, atau terjebak dalam kenangan yang semakin usang.
Kitapun teringat filsafat eksistensialisme yang melihat hidup seperti mitos Sisyphus. Di lereng tak berujung, Sisyphus mendorong batunya sekali lagi. Ia tahu, batu itu akan jatuh, seperti kemarin, seperti esok yang tak berbeda. Tapi ia tak lagi bertanya mengapa.
Dalam denting gitar Dylan, ia menemukan jawaban yang bukan jawaban. Ini hanya perjalanan tanpa peta, hanya langkah yang terus bergerak.
Hidup bukan soal mencapai puncak, bukan soal menang atau kalah, melainkan keberanian untuk mendorong batu itu, jatuh, bangkit, dan melangkah lagi.
Dalam absurditas ini, dalam lagu yang tak pernah selesai, kita menemukan kebebasan: bukan karena dunia memberi arti, tapi karena kita menciptakannya sendiri.***
Jakarta, 2 Maret 2025
CATATAN:
(1) Lagu Bob Dylan adalah puisi yang mendalam. Itu sebabnya ia memperoleh Nobel Sastra.
The New York Times: Bob Dylan Wins Nobel Prize, Redefining Boundaries of Literature