DECEMBER 9, 2022
Kolom

Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM - Di tanah yang subur, di bawah bayang-bayang Gunung Agung, berdiri tegak patung-patung yang diam.

Patung-patung berjajar di pura-pura, di perempatan jalan, di halaman rumah, seolah menyaksikan dunia yang terus bergerak.

Orang-orang lalu berkata, "Lihat, mereka menyembah patung." Sebuah kesimpulan yang lahir dari pandangan sekilas, tanpa menyelami makna.

Baca Juga: Pilkada Bali 2024: Made Muliawan Arya Berusaha Hadirkan Jokowi, Wayan Koster Pilih Blusukan ke Desa

Bali, pulau seribu pura, sejuta patung, memang penuh dengan wujud-wujud simbolik.

Namun, siapa yang sesungguhnya disembah?

Ketika umat Hindu Bali datang ke pura, mereka tidak menundukkan kepala pada batu atau kayu yang diukir menjadi patung. Mereka tidak berbicara pada arca atau meminta berkah dari benda mati.

Baca Juga: Pilkada Bali 2024: Wayan Koster-Giri Prasta yang Diusung PDI Perjuangan Menang Telak

Mereka datang untuk menyapa "Beliau" yang melinggih, yang tak terlihat namun diyakini hadir.

Ada Padmasana menjulang tinggi di suatu pura, seperti singgasana kosong yang menanti. Siapa yang duduk di sana? Bukan patung, bukan ukiran, melainkan Sang Hyang Widhi dalam kemuliaan yang tak terjangkau oleh indria. Acintya disebutkannya; tak terpikirkan, maha, jauh, tinggi. Pikiran kita tak menjangkau atas kemahaan Hyang Widhi.

Ada taulan, ada juga pesimpangan-pesimpangan, ada palinggih, ada pratime, tempat singgah manifestasi-Nya, bukan tempat bersemayam batu.

Baca Juga: Wayan Koster dan Giri Prasta Susun Rencana Aksi di Bali Sambil Tunggu Pelantikan yang Diundur

Paradoks itu terus berulang. Ketika leluhur dihormati, bukan foto yang diberi persembahan, melainkan esensi yang tak kasat mata, keberadaan yang tak lagi berbentuk, hanya tersisa jejak dalam kasih dan doa.

Halaman:

Berita Terkait