DECEMBER 9, 2022
Kolom

Denny JA dan Puisi Esai: Mendobrak Batas Antara Sastra, Sejarah, dan Advokasi Sosial

image
Denny JA, penggagas puisi esai (Foto: Istimewa)

Oleh Irsyad Mohammad

Denny JA adalah fenomena unik dalam sastra Indonesia. Ia bukan hanya seorang penyair, tetapi juga seorang pemikir sosial, peneliti opini publik, dan pelaku politik yang memahami bagaimana narasi membentuk realitas sosial. Dalam dunia sastra, ia dikenal sebagai pelopor puisi esai, sebuah genre yang memadukan puisi, esai, dan narasi berbasis data.

Di tingkat nasional, pengaruhnya dalam sastra tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah dan sosial-politik yang ia angkat. Karya-karyanya menelusuri berbagai isu kemanusiaan, seperti diskriminasi, penindasan, ketidakadilan sosial, perang, dan pencarian makna hidup dalam dunia yang berubah begitu cepat.

Baca Juga: Puisi Gol A Gong: Kopi Tubruk

Untuk memahami tempatnya dalam sastra Indonesia dan dunia, kita perlu menganalisis gaya, tema, dan dampak puisi esai yang ia usung, serta bagaimana ia dibandingkan dengan gerakan sastra global.

Gaya dan Struktur Puisi Esai: Antara Sastra, Data, dan Aktivisme

Denny JA membangun puisi esai dengan struktur khas:

Baca Juga: Gol A Gong, Duta Baca Indonesia Nyalakan Temu Literasi Bangka Selatan 

1. Kisah Naratif

Setiap puisi esai diawali dengan sebuah kisah yang memiliki karakter kuat. Ia menggunakan pendekatan realisme sosial, mirip dengan cara John Steinbeck dalam novel novel sosialnya, atau Émile Zola dalam naturalisme Prancis.

2. Penggunaan Data dan Fakta Sejarah

Baca Juga: Puisi Esai Isbedy Stiawan ZS: Perempuan di Seberang Istana Batubara

Denny JA memasukkan elemen riset dan fakta-fakta sejarah yang menjadikan puisinya memiliki bobot analitis, mirip dengan puisi dokumenter dalam sastra dunia. Ini mengingatkan pada pendekatan Bertolt Brecht, yang menciptakan teater epik berbasis kritik sosial dengan pendekatan non-fiksional.

3. Bahasa Efektif, Bukan Bahasa Eksperimental

Tidak seperti penyair avant-garde yang bermain dengan metafora eksperimental, Denny JA lebih memilih bahasa yang komunikatif, lugas, dan memiliki daya persuasi. Ini membedakannya dari Chairil Anwar yang penuh letupan ekspresi individual, atau Sapardi Djoko Damono yang lirih dan minimalis.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Marhaen di Abad 21

4. Kesadaran Akan Pembaca Luas

Denny JA ingin puisinya berdampak sosial, bukan sekadar dinikmati dalam lingkaran akademik atau komunitas sastra. Ia lebih dekat dengan tradisi sastra rakyat (folk literature) yang ingin membentuk kesadaran massa. Oleh karenanya banyak karya-karya Denny JA menggunakan bahasa yang mudah dipahami khalayak ramai, juga melakukan alih wahana puisi esai ke teater, cerita bergambar, hingga ke film agar puisi esai dapat masuk ke tengah gelanggang.

Isu Kemanusiaan dalam Karya-Karyanya: Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Mohammad Hatta dan Korupsi yang Menggila

Denny JA banyak mengangkat isu kemanusiaan lintas sejarah. Seperti Émile Zola yang menuliskan dampak revolusi industri terhadap kelas pekerja, Denny JA menjadikan sejarah sebagai latar refleksi atas problem sosial masa kini.

Denny JA bisa dikatakan mendobrak batas antara sastra, sejarah, dan advokasi sosial melalui tiga argumen utama:

1. Ia Menggunakan Sastra Sebagai Arsip Sejarah yang Hidup

Baca Juga: Orasi Denny JA: Kutunggu Kamu di Neraka

Sejarah sering kali menjadi narasi besar yang bersifat makro: perang, revolusi, rezim yang tumbang, dan ekonomi yang bergejolak. Namun, bagaimana dengan mereka yang hidup dalam sejarah itu? Apa yang dirasakan seorang ibu yang kehilangan anaknya dalam revolusi menuju kemerdekaan? Bagaimana seorang buruh yang dulu bermimpi akan perubahan, tetapi mendapati dirinya tetap miskin setelah perang kemerdekaan usai?

Puisi esai Denny JA menghadirkan kisah-kisah itu. Ia menampilkan sejarah dari sudut pandang individu—bukan sekadar mencatat peristiwa, tetapi menelusuri emosi dan trauma yang tersembunyi di baliknya. Seperti yang kita bisa lihat dalam buku antologi puisi esai Atas Nama Cinta (2012) hingga buku antologi puisi esai terbaru Denny JA, Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka (2025). Buku antologi puisi esai Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka berisi 15 puisi esai yang mengangkat para tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di awal gerakan kebangsaan Indonesia (1908-1930) hingga tragedi yang menimpa beberapa di antara mereka pasca kemerdekaan Indonesia.

Dalam puisi esainya yang mengangkat soal Henk Sneevliet dan janji-janji indahnya tentang masyarakat tanpa kelas. Paham marxisme-leninisme yang dibawakan oleh Henk Sneevliet rupanya membuat guru dan murid berseteru, HOS Tjokroaminoto dan Semaun yang dulunya mereka guru dan murid kemudian mereka bertikai. Sarekat Islam (SI) menjadi SI Merah yang berpaham komunis dan SI Putih yang berpaham Islam. Kisah pertikaian antara guru dan murid ini diangkat dalam puisi esai Dua Matahari di Ufuk yang Berbeda: Tjokroaminoto dan Semaun.

Baca Juga: Kinabalu dan Nobel Sastra untuk Denny JA

Ia bisa saja menulis tentang seorang petani, kalangan marhaen yang awalnya percaya pada janji keadilan dan kemakmuran Indonesia, namun hingga kini negara ini belum juga mencapai swasembada pangan bahkan garam sama impor. Ia tidak hanya mengisahkan, tetapi juga menggunakan data sejarah untuk membuktikan tragedi itu.

Dengan cara ini, Denny JA menciptakan sastra yang bukan sekadar estetika, tetapi juga seperti kata Milan Kundera: “perjuangan ingatan melawan lupa.”

2. Ia Menyisipkan Fakta Sosial untuk Membangun Kesadaran Publik

Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah Melalui Puisi Esai

Banyak karya sastra menampilkan penderitaan, tetapi hanya sedikit yang berusaha membongkar akar sistemik dari penderitaan itu.

Denny JA memasukkan data, riset, dan statistik sosial ke dalam puisinya, menjadikannya lebih dari sekadar ekspresi artistik. Ini bukan sekadar cerita yang menggugah emosi, tetapi juga membangkitkan kesadaran kritis pembacanya.

Misalnya, dalam puisi esainya tentang Indische Partij, ia tidak hanya bercerita tentang tentang para pendirinya seperti Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo. Kisah Douwes Dekker, seorang keturunan Indo-Belanda yang rela berjuang bersama dengan Ki Hajar Dewantara dan Tjipto Mangunkusumo yang berasal dari golongan Pribumi, mereka kemudian bersatu untuk membentuk satu partai politik pertama di Indonesia: Indische Partij (Partai Hindia).

Baca Juga: Orasi Denny JA: Berderma di Usia Dini dengan Menulis

Cerita ini menarik dan menunjukkan konsistensi Denny JA dalam menyuarakan suara anti diskriminasi terhadap suku, agama, ras, antargolongan, gender, hingga orientasi seksual apa pun. Mengingat zaman itu orang-orang Eropa dan keturunannya mendapatkan privilige. Namun Douwes Dekker menolak privilege itu demi bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan orang-orang Pribumi. Kisah ini menunjukkan tidak semua orang Eropa, khususnya orang Belanda sendiri menerima penjajahan Belanda atas Indonesia.

Meskipun kini Indonesia sudah merdeka, sayangnya diskriminasi rasial masih tetap berlanjut. Bukan hanya diskriminasi rasial, namun juga diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan hingga orientasi seksual. Hal ini tentunya harus menjadi concern kita semua, karena sila kedua Pancasila berbunyi: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Sayangnya pelaksanaan sila kedua masih jauh panggang dari api.

Dengan membaca puisi-puisi Denny JA, kita pun terhubung dengan isu kemanusiaan yang seringkali terlupakan. Puisi esai Denny JA menjadi jembatan antara emosi dan pemahaman kritis, mengubah pembaca menjadi bagian dari advokasi sosial.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Malam Natal di Perang Dunia Pertama

3. Ia Menjadikan Sastra Sebagai Medium Advokasi yang Berkelanjutan

Mereka yang tidak belajar dari sejarah, maka ia akan dikutuk untuk mengulanginya” – George Santayana.

Seringkali sejarah hanya dianggap catatan masa silam, tanpa benar-benar dipelajari dan dilihat akar permasalahannya. Tentunya hal ini yang membuat banyak pelanggaran HAM, diskriminasi, ketidakadilan sosial, kesenjangan, hingga berbagai masalah mulai dari konflik di Indonesia hingga tingkat dunia terjadi karena kita tidak belajar dari sejarah.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Tarian Mawar Hitam, Elegi Flu Spanyol

Ada baiknya kisah-kisah sejarah yang terlupakan itu diangkat lewat karya sastra. Hal ini perlu supaya banyak peristiwa penting masa silam hingga yang terlupakan dibaca, karena banyak buku-buku sejarah tidak menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh orang awam. Karya sastra yang mengangkat tema-tema historis dapat lebih mudah dicerna oleh khalayak ramai, harapannya agar muncul kesadaran publik untuk berpartisipasi aktif dalam advokasi isu-isu sosial.

Sayangnya di dunia sastra, banyak karya yang memantik kesadaran, tetapi hanya sedikit yang benar-benar menjadi bagian dari gerakan sosial yang nyata. Denny JA bukan sekadar menulis, tetapi juga menghubungkan sastra dengan aksi nyata. Tentunya aksi nyata yang berlandaskan realitas historis bangsa Indonesia. Dengan Gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi, ia membuktikan bahwa sastra bisa menjadi alat advokas

Sayangnya di dunia sastra, banyak karya yang memantik kesadaran, tetapi hanya sedikit yang benar-benar menjadi bagian dari gerakan sosial yang nyata. Denny JA bukan sekadar menulis, tetapi juga menghubungkan sastra dengan aksi nyata. Tentunya aksi nyata yang berlandaskan realitas historis bangsa Indonesia. Dengan Gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi, ia membuktikan bahwa sastra bisa menjadi alat advokasi yang melampaui ruang akademik atau komunitas sastra.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Haruskah Kutembak Raja dan Keluarganya?

Ketika ia menulis puisi esai tentang Mohammad Hatta yang berjuang melawan korupsi dalam puisi esainya Mereka Yang Teriak Merdeka Puisi ke-15: Mohammad Hatta dan Korupsi yang Menggila, dalam puisi esainya Denny JA mengkritik praktek korupsi yang kian menggila di Indonesia pasca Reformasi. Ini merupakan ironi Reformasi, sebab Reformasi hadir dengan narasi anti-KKN; namun tujuan mulia ini tidak tercapai. Advokasi isu anti-korupsi, ia tidak hanya berhenti di puisi. Ia menggunakan narasi itu untuk mendukung kampanye nyata melawan praktek korupsi di Indonesia.

Dengan demikian, puisinya tidak hanya meninggalkan jejak di lembaran buku, tetapi juga dalam kebijakan sosial dan kesadaran kolektif.

Denny JA dan Sastra Dunia: Di Mana Posisinya?

Baca Juga: Puisi Esai Isbedy Stiawan ZS: Dulu Jalan Ini Mulus

Secara internasional, posisi Denny JA unik karena ia menggabungkan sastra, riset data, dan aktivisme sosial. Jika dibandingkan dengan tradisi sastra dunia, ia memiliki elemen dari berbagai aliran:

1. Dari Sastra Sosial Amerika: Mirip dengan John Steinbeck, yang mengangkat penderitaan kelas pekerja dalam The Grapes of Wrath.

2. Dari Sastra Naratif Dokumenter: Seperti Svetlana Alexievich, pemenang Nobel Sastra 2015 yang menulis sejarah berbasis suara korban perang dan revolusi.

Baca Juga: Antologi Puisi Esai Isti Nugroho Akan Diluncurkan pada 24 Februari di Rumah Maiyah, Yogyakarta

3. Dari Puisi yang Berfungsi Sebagai Manifesto Politik: Seperti Pablo Neruda, yang dalam Canto General menuliskan sejarah Amerika Latin dengan nuansa epik dan perjuangan.

4. Dari Sastra Aktivisme Modern: Ia juga memiliki kemiripan dengan Arundhati Roy, yang menggunakan sastra untuk mengkritik kebijakan sosial dan diskriminasi.

5. Juga dari Sastra Poskolonialisme: Ia mirip dengan Abdulrazak Gurnah, pemenang Nobel Sastra 2021 yang menggunakan kacamata poskolonial untuk mengkritik penjajahan, kolonialisme, dan imperialisme.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Buah Beracun Revolusi

Namun, di luar semua perbandingan ini, Denny JA tetap orisinal. Ia bukan sekadar mengadaptasi, tetapi menciptakan genre baru: puisi esai, yang hingga kini belum banyak dijumpai di luar Indonesia.

Kesimpulan: Apa Warisannya?

Denny JA telah membangun warisan unik dalam sastra Indonesia:

Baca Juga: Catatan Denny JA: Kejayaan yang Dikalahkan Oleh Teknologi

• Ia menjadikan puisi sebagai alat aktivisme, bukan sekadar ekspresi pribadi.

• Ia membawa data dan fakta sejarah ke dalam puisi, mendekatkannya dengan jurnalisme sastra.

• Ia membangun genre baru yang belum memiliki padanan langsung dalam sastra dunia.

Baca Juga: Denny JA dan Puisi Esai: Mendobrak Batas Antara Sastra, Sejarah, dan Advokasi Sosial

Jika sastra dunia mengenal Émile Zola dalam naturalisme, Pablo Neruda dalam puisi epik, dan Svetlana Alexievich dalam dokumenter sastra, maka Denny JA bisa disebut sebagai pelopor puisi esai—sebuah genre yang mendobrak batas antara sastra, sejarah, dan advokasi sosial.

Di Indonesia, ia telah menciptakan jejak yang sulit diabaikan. Di tingkat global, potensinya masih terbuka luas untuk diperkenalkan lebih jauh sebagai suara dari dunia ketiga yang membawa tradisi sastra ke ranah advokasi kemanusiaan.***

Halaman:

Berita Terkait