Denny JA dan Puisi Esai: Mendobrak Batas Antara Sastra, Sejarah, dan Advokasi Sosial
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Kamis, 13 Februari 2025 10:20 WIB

1. Dari Sastra Sosial Amerika: Mirip dengan John Steinbeck, yang mengangkat penderitaan kelas pekerja dalam The Grapes of Wrath.
2. Dari Sastra Naratif Dokumenter: Seperti Svetlana Alexievich, pemenang Nobel Sastra 2015 yang menulis sejarah berbasis suara korban perang dan revolusi.
3. Dari Puisi yang Berfungsi Sebagai Manifesto Politik: Seperti Pablo Neruda, yang dalam Canto General menuliskan sejarah Amerika Latin dengan nuansa epik dan perjuangan.
Baca Juga: Puisi Gol A Gong: Kopi Tubruk
4. Dari Sastra Aktivisme Modern: Ia juga memiliki kemiripan dengan Arundhati Roy, yang menggunakan sastra untuk mengkritik kebijakan sosial dan diskriminasi.
5. Juga dari Sastra Poskolonialisme: Ia mirip dengan Abdulrazak Gurnah, pemenang Nobel Sastra 2021 yang menggunakan kacamata poskolonial untuk mengkritik penjajahan, kolonialisme, dan imperialisme.
Namun, di luar semua perbandingan ini, Denny JA tetap orisinal. Ia bukan sekadar mengadaptasi, tetapi menciptakan genre baru: puisi esai, yang hingga kini belum banyak dijumpai di luar Indonesia.
Baca Juga: Gol A Gong, Duta Baca Indonesia Nyalakan Temu Literasi Bangka Selatan
Kesimpulan: Apa Warisannya?
Denny JA telah membangun warisan unik dalam sastra Indonesia:
• Ia menjadikan puisi sebagai alat aktivisme, bukan sekadar ekspresi pribadi.
Baca Juga: Puisi Esai Isbedy Stiawan ZS: Perempuan di Seberang Istana Batubara
• Ia membawa data dan fakta sejarah ke dalam puisi, mendekatkannya dengan jurnalisme sastra.