DECEMBER 9, 2022
Kolom

Denny JA dan Puisi Esai: Mendobrak Batas Antara Sastra, Sejarah, dan Advokasi Sosial

image
Denny JA, penggagas puisi esai (Foto: Istimewa)

Dalam puisi esainya yang mengangkat soal Henk Sneevliet dan janji-janji indahnya tentang masyarakat tanpa kelas. Paham marxisme-leninisme yang dibawakan oleh Henk Sneevliet rupanya membuat guru dan murid berseteru, HOS Tjokroaminoto dan Semaun yang dulunya mereka guru dan murid kemudian mereka bertikai. Sarekat Islam (SI) menjadi SI Merah yang berpaham komunis dan SI Putih yang berpaham Islam. Kisah pertikaian antara guru dan murid ini diangkat dalam puisi esai Dua Matahari di Ufuk yang Berbeda: Tjokroaminoto dan Semaun.

Ia bisa saja menulis tentang seorang petani, kalangan marhaen yang awalnya percaya pada janji keadilan dan kemakmuran Indonesia, namun hingga kini negara ini belum juga mencapai swasembada pangan bahkan garam sama impor. Ia tidak hanya mengisahkan, tetapi juga menggunakan data sejarah untuk membuktikan tragedi itu.

Dengan cara ini, Denny JA menciptakan sastra yang bukan sekadar estetika, tetapi juga seperti kata Milan Kundera: “perjuangan ingatan melawan lupa.”

Baca Juga: Puisi Gol A Gong: Kopi Tubruk

2. Ia Menyisipkan Fakta Sosial untuk Membangun Kesadaran Publik

Banyak karya sastra menampilkan penderitaan, tetapi hanya sedikit yang berusaha membongkar akar sistemik dari penderitaan itu.

Denny JA memasukkan data, riset, dan statistik sosial ke dalam puisinya, menjadikannya lebih dari sekadar ekspresi artistik. Ini bukan sekadar cerita yang menggugah emosi, tetapi juga membangkitkan kesadaran kritis pembacanya.

Baca Juga: Gol A Gong, Duta Baca Indonesia Nyalakan Temu Literasi Bangka Selatan 

Misalnya, dalam puisi esainya tentang Indische Partij, ia tidak hanya bercerita tentang tentang para pendirinya seperti Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo. Kisah Douwes Dekker, seorang keturunan Indo-Belanda yang rela berjuang bersama dengan Ki Hajar Dewantara dan Tjipto Mangunkusumo yang berasal dari golongan Pribumi, mereka kemudian bersatu untuk membentuk satu partai politik pertama di Indonesia: Indische Partij (Partai Hindia).

Cerita ini menarik dan menunjukkan konsistensi Denny JA dalam menyuarakan suara anti diskriminasi terhadap suku, agama, ras, antargolongan, gender, hingga orientasi seksual apa pun. Mengingat zaman itu orang-orang Eropa dan keturunannya mendapatkan privilige. Namun Douwes Dekker menolak privilege itu demi bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan orang-orang Pribumi. Kisah ini menunjukkan tidak semua orang Eropa, khususnya orang Belanda sendiri menerima penjajahan Belanda atas Indonesia.

Meskipun kini Indonesia sudah merdeka, sayangnya diskriminasi rasial masih tetap berlanjut. Bukan hanya diskriminasi rasial, namun juga diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan hingga orientasi seksual. Hal ini tentunya harus menjadi concern kita semua, karena sila kedua Pancasila berbunyi: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Sayangnya pelaksanaan sila kedua masih jauh panggang dari api.

Baca Juga: Puisi Esai Isbedy Stiawan ZS: Perempuan di Seberang Istana Batubara

Dengan membaca puisi-puisi Denny JA, kita pun terhubung dengan isu kemanusiaan yang seringkali terlupakan. Puisi esai Denny JA menjadi jembatan antara emosi dan pemahaman kritis, mengubah pembaca menjadi bagian dari advokasi sosial.

Halaman:

Berita Terkait